skip to main |
skip to sidebar
Dasabhumi merupakan tingkatan-tingkatan yang ditempuh oleh Bodhisatva melalui paramita menuju Samyak Sambodhi.

Kesepuluh tingkat dasabhumi ini adalah:
1. Pramudita (kebahagiaan)
Ketika seorang Bodhisatva menyadari bahwa ia telah melaksanakan dana
paramita dan juga telah menyadari kekosongan dari Sang Aku (pudgala
nairatmya) dan juga kekosongan dari setiap dharma (dharma nairatmya).
2. Vimala (murni bersih)
Ketika seorang Bodhisatva telah terbebas dari karma-karma buruk dengan
melaksanakan sila paramita dan telah mengukuhkan kusala-mula (akar
baik). Pikirannya telah terbebas dari segala kemelekatan. Dengan giat
melaksanakan dhyana samadhi.
3. Prabhakari (cemerlang)
Seorang Bodhisatva memancarkan cahaya di dalam ksanti paramita karena ia
telah tidak memiliki rasa marah dan dendam. Ia juga telah melaksanakan
keempat dhyana dan hasilnya serta memperoleh Panca Abhijna. Ia telah
terlepas dari raga, dvesa dan moha.
4. Arismati (menyala berkobar-kobar)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan virya paramita akan banyak
membantu ia dalam kemajuan batin menuju bodhi (37 bodhipaksiya dharma).
5. Sudurjaya (tak terkalahkan)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan dhyana paramita mengembangkan
prajna dan merealisasikan aryasatya dan menembusi hakekat samvrti satya
dan paramartha satya.
6. Abhimukti (menuju bodhi)
Seorang Bodhisatva pada tingkat tersebut menyelami arti dari pratitya
samutpada. Prajna telah diperoleh berkat pengertian mengenai sunyata.
7. Durangama (berjalan jauh)
Dalam tingkat ini seorang Bodhisatva mengembangkan karuna, pengetahuan
tentang panca skanda, menuju bodhi dan memiliki virya paramita. Dari
sravakayana menuju Mahayana dengan upaya kausalya (usaha yang mudah dan
sesuai) dan akhirnya bodhi.
8. Acala (teguh/kokoh)
Seorang Bodhisatva membuat kemajuan yang pasti dan mengetahui kapan ia menjadi Budha berkat vyakarana (petunjuk).
9. Sadhumati (pikiran baik)
Seorang Bodhisatva melengkapi perbuatannya di dalam bala paramita yaitu
dengan dasabala (sepuluh kekuatan) Sang Budha. Sekarang ia memiliki
kebijaksanaan sempurna dan siap membimbing setiap makhluk menuju
Nirvana.
10. Dharmamegha (mega dharma)
Pada tingkat ini seorang Bodhisatva mencapai dhyana paramita dan
pengetahuan sempurna. Ia telah sampai pada tingkat calon Budha. Ia juga
telah menerimaabhiseka dari para Budha mengenai Kebuddhaan. Tubuh
dharmakayanya sekarang telah sempurna dan ia dapat menunjukkan
kemukjizatan. Dengan demikian selesailah karya seorang Bodhisatva dalam
dasabhumi.
(Kutipan dari karya Prof. Nalinaksha Dutt "Mahayana Buddhism")
Ceramah
yang diberikan oleh Biksu Cuan Cing di Aula Nan Hai Pu Tuo San
Singapore pada April 1987
Para Bhiksu, para
Pemuka masyarakat dan para hadirin sekalian:
Hari ini kita dapat bertemu dan berkumpul di sini, berkat rahmat Buddha dan
karena kita semua mempunyai hubungan erat dengan Buddha, dan pertalian ini telah
kita pupuk sejak kelahiran kita yang lalu bahkan beberapa kelahiran yang lalu,
maka hari ini kita memperoleh kesempatan bersua, bertatap muka.
Dengan kesempatan ini saya akan menceritakan pengalaman diriku
di Ci Le Se Cie (Surga Sukhavati), dan semua yang saya lihat dan dengar di Surga
Sukhavati akan saya sampaikan kepada para hadirin semuanya.
Yang akan saya bicarakan hari ini dapat disimpulkan dalam 5
point sebagai berikut:
1.Bagaimana
saya dapat pergi dan sampai di Surga mengapa saya memperoleh kesempatan ke Surga
Sukhavati? Lamanya saya berkunjung di Surga Sukhavati, dari awal sampai pulang,
menurut perasaanku kurang lebih 20 jam. Tetapi sesungguhnya mulai dari saya
meninggalkan dunia sampai dengan saya kembali di dunia ini adalah selama lebih
dari 6 tahun 5 bulan.
2.Dalam
perjalanan menuju ke Surga Sukhavati, terlebih dahulu saya singgah di Gua Arahat,
Khayangan Trayastrimaas, Khayangan Tusita, terakhir sampai di Surga Sukhavati.
Surga Sukhavati terbagi 3 tingkat yaitu: Teratai Atas, Teratai Tengah, Teratai
Bawah, lalu masing-masing tingkat terbagi lagi menjadi sub bagian, secara terinci
terbagi 9 tingkat alam. (9 tingkat alam yaiti: 9 negeri teratai, 9 padma ksetra
terinci sebagai berikut: Varga Atas Atas, Varga Atas Tengah, Varga Atas Bawah,
Varga Tengah Atas, Varga Tengah Tengah. Varga Tengah Bawah, Varga Bawah Atas,
Varga Bawah Tengah, Varga Bawah Bawah).
3.Manusia
yang bagaimanakah yang akan lahir di tingkat mana di Surga Sukhavati? Dengan
kata lain, manusia di dunia ini dengan kriteria apa, sesuai dengan jasa dan
perbuatannya/karmanya, kelak akan menempati di Varga mana di Surga Sukhavati?
Serta akan saya uraikan keadaan di setiap Varga. Umpanya bentuk tubuh dan ciri
khas dari penghuni di masing-masing Varga, tentang sandang pangan, tata hidup,
luas dan tingginya di masing-masing Varga.
4.Penghuni
di Surga Sukhavati dari Varga rendah ingin naik ke tingkat Varga yang lebih
tinggi, usaha atau kebaktian apa yang harus mereka lakukan? Setingkat demi setingkat,
dari bawah ke atas, sehingga mencapai Kebuddhaan, penghuni disana tetap harus
berusaha maju sampai ke Varga tertinggi.
5.Ada
kenalanku yang menjadi penghuni di sana berpesan dan mengirim salam serta nasehat
kepada familinya di dunia fana, ketika saya pamit pulang ke dunia.
(1)
KEMUKJIJATAN DI PERJALANAN (KWAN ING PHU SA MEMBAWA SAYA KE ALAM SUCI) - PERJALANAN
AWAL
(2) BERJUMPA BHIKSU SI YIN DI TUSITA
(3) PETUNJUK MAITREYA BODHISATTVA
(4) MENGUNJUNGI SUKHAVATI LOKA BERNAMASKARA KEPADA
AMITABHA BUDDHA
(5) NEGERI TERATAI TINGKAT TERBAWAH DIHUNI OLEH PEMBAWA
KARMA
(6) DELUSI PENGHUNI DI NEGERI TERATAI VARGA BAWAH
TINGKAT BAWAH
(7) PAGODA VIMALA VIPASSANA DAN BAHASA DHARANI
(8) NEGERI TERATAI VARGA TENGAH
(9) GUNUNG DELAPAN PEMANDANGAN BESAR
(10) PUSAT PAMERAN NEGERI TERATAI
(11) NEGERI TERATAI VARGA ATAS BILA BUNGA BERKEMBANG
MEKAR, BERJUMPALAH DENGAN BUDDHA
(12) PETUNJUK DARI BUDDHA AMITABHA & KEMBALI
KE DUNIA FANA, DI GUA MAITREYA GUNUNG 9 DEWA
KEMUKJIJATAN
DI PERJALANAN
(KWAN ING PHU SA MEMBAWA SAYA KE ALAM SUCI)

PERJALANAN AWAL
Peristiwa ini terjadi tahun
1967 bulan 10 tanggal 25 penanggalan Imlek. Hari itu saya sedang bermeditasi
di Vihara Mai Sie Yen (Biksu Chuan Cing saat itu menjabat kepala biara di Vihara
tersebut), tiba-tiba terdengar ada orang memanggil dan mendorong saya berjalan
maju terus ke depan. Saya seolah-olah sedang mabuk dan tanpa sadar terus keluar
dari Vihara. Samar-samar saya diberitahu akan berangkat ke Tek Hue (jarak antara
Vihara Mai Sie Yen dan Ciu Sien San di Tek Hue kurang lebih 100 km) saya berjalan
dan terus berjalan. Saya tidak merasa lelah dan lapar. Jika haus saya menadah
air sumber dengan kedua tanganku, dan meminumnya sampai hilang dahagaku. Entah
berapa lama berlalu, pendek kata, sepanjang perjalanan itu saya tidak pernah
beristirahat dan tidur. Menurut ingatanku, hari tidak pernah gelap.
Saat itu revolusi kebudayaan
sedang berkecamuk di seluruh Tiongkok. Ketika saya berjalan mendekati Ciu Sien
San, seolah-olah mendengar kata orang di perjalanan, " hari ini bulan 10
tanggal 25", pada masa revolusi kebudayaan keadaan dimana-mana kacau balau.
Sebaiknya kita pilih waktu malam hari untuk bepergian, saya pun tidak terkecuali...."
Saya ingat esok harinya
jam 03.00 pagi. Saya bersua dengan seorang Bhiksu Tua (belakangan saya tahu
beliau adalah penjelmaan Kuan Ing Phu Sa). Mula-mula kita tidak saling mengenal,
karena beliau mengenakan jubah bhiksu, dengan sendirinya saya menyambutnya dengan
merangkapkan kedua tangan (anjali). Beliaupun menjawab sambutan saya dengan
sikap serupa.
Setelah saya memperkenalkan
nama saya, Bhiksu tua lalu memperkenalkan diri, "Saya bernama Yen Kwan,
hari ini saya berjodoh dapat ketemu dengan anda. Marilah kita sama-sama melancong
ke Ciu Sien San, Sudikah Anda?"
Karena kami sama tujuannya,
maka saya mengangguk kepadanya, mengatakan setuju.
Kemudian kami berjalan sambil
bercakap-cakap. Beliau seolah-olah mengetahui riwayatku sedetail-detailnya.
Beliau bercerita banyak tentang hukum karma. Cerita-ceritanya sangat menarik
seperti legenda. Beliau mengungkapkan kelahiran-kelahiranku pada masa lampau.
Misalnya Beliau menunjuk pada saya bahwa pada kelahiranku yang keberapa tepat
pada jaman apa, berada di kota apa, dan peristiwa apa yang terjadi pada diriku
pada saat itu. Setiap katanya sangat mengesankan, saya ingat semua petunjuk-petunjuknya
(7 tahun kemudian Bhiksu Chuan Chin menelurusuri setiap pelosok Tiongkok sesuai
dengan petunjuk Bhiksu Tua itu. Setiap kelahiran saya yang lampau betul-betul
terbukti pernah ada orangnya, waktu dan tempat semua tepat sesuai dengan petunjuk
Beliau.
Hampir seluruh kelahrian- kelahiranku yang lampau hidup sebagai Bhiksu.
Kecuali sekali sebagai Upasakha yang saleh, lahir pada Dinasti Ching jaman Kaisar
Gong Hi (Gong Si), tahun 1662-1722,bertempat tinggal di daerah Sang Yung, desa
Kueke, waktu itu bernama The Wan Shi (Cen Yen Shi), berputra 6 laki-laki dan
2 perempuan, diantara putra-putranya ada seorang yang memperoleh gelar Sarjana
'Cin Shi'. Beliau telah menyelidiki alamat, kuburan-kuburan mereka serta waktu
semuanya cocok dan sampai sekarang ada 121 keluarga, berjumlah lebih dari 450
orang)
Kami bercakap-cakap sepanjang
jalan, tanpa terasa sudah sampai di Ciu Sien San (Gunung Sembilan Dewa ini adalah
gunung tertinggi di Propinsi Hok Kien). Di atas gunung tersebut banyak terdapat
gua-gua, yang terbesar bernama Gua Maitreya, gua inilah tempat tujuan kami.
Di dalam gua terdapat sebuah altar dengan sebuah rupang Buddha Maitreya untuk
dipuja. Oleh karenanya dinamakan Gua Maitreya.
Akan tetapi ketika kami
naik sampai dipertengahan gunung Ciu Cien, suatu pemandangan luar biasa, ajaib
tampak di depan mata kami.
Jalan pegunungan yang sempit
di depan kami, tiba-tiba berubah menjadi sebuah jalan yang lebar terbuat dari
batu-batu rata dan halus disusun dengan sangat rapi dan bagus. Karena halusnya
jalan itu sehingga dapat memantulkan sinar remang-remang. Kami berjalan terus
sampai ke ujung gunung, di depan kami bukan lagi Gua Maitreya yang lama, melainkan
suatu alam dunia dari pada yang lain terpampang di muka kami.
Pandangan di depan kami
menjadi dataran luas, sebuah vihara yang besar yang sangat megah dan mewah,
jauh lebih megah dari istana kuno di Beijing.
Dua pagoda tinggi berada di kanan
kiri Vihara. Tidak lama lagi kami tiba di gapura depan Vihara.
Gapura terbuat dari batu
putih, gaya rancangannya halus dan megah. Di atas gapura terpampang papan nama
terukir beberapa aksara berwarna emas yang tidak saya kenal (bukan aksara Cina),
berkilau-kilau sinar keemasan. Di muka gapura telah berdiri empat Bhiksu berjubah
merah, pinggang mereka dengan ikatan sabuk emas, tampaknya agung dan mulia.
Mereka segera menyambut kami dengan berlutut dan sembah sujud di depan kami,
dan kami pun segera membalas sambutannya dengan membungkukan badan. Saya heran
dan aneh, belum pernah saya jumpai pakaian seragam yang dikenakan oleh Bhiksu
penyambut itu, sedikit mirip jubah para Lama di Tibet.
Mereka sambut kami dengan
senyum dan berkata "Selamat Datang ! Selamat Datang!" lalu mempersilahkan
kami masuk.
Memasuki gapura melalui
beberapa bangunan-bangunan megah dan berkilau-kilau bagaikan istana. Kami berjalan
ke dalam lagi, sebuah lorong menjulur panjang ke dalam. Di kedua sisinya di
hiasi tanaman bunga yang segar dan warna-warni serta pepohonan hijau. Melalui
jendela kami lihat banyak pagoda dan balai pertemuan serta aneka macam bangunan.
Tidak lama lagi rombongan
kami sampai di sebuah aula istana yang besar, terpampang 4 aksara emas, yang
berkilau-kilau keemasan, di depan aula, bukan bahasa Cina, juga bukan bahasa
Inggris, saya tidak mengerti apa artinya, lalu saya bertanya kepada Bhiksu Yen
Kwan,menurut beliau artinya "Arahat Lokha di Langit Tengah". Dugaan
saya ini adalah tempat kebaktian para arahat, salah satu sarana bagi mereka
untuk memperdalam Dharma. Sampai sini saya sadar bahwa disini bukan lagi dunia
fana yang kita huni. Sekarang saya hanya masih ingat salah satu dari 4 aksara
itu, tiga aksara lainnya sudah lupa.
Saat saya berjumpa Bhiksu
Yen Kwan kira-kira jam 3 pagi. Dan saat ini telah mendekat fajar, banyak orang
keluar masuk istana, segala ras bangsa berkumpul di sini, ada yang berkulit
kuning, putih, coklat, hitam, hampir semua ras di dunia fana berkumpul disini,
namun yang mayoritas adalah kulit kuning. Laki-laki, perempuan, tua, muda semuanya
ada. Kostum dan pakaian mereka beraneka ragam, semuanya bersinar-sinar. Mereka
membentuk kelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari beberapa orang, ada
yang melatih silat , ada yang bersenang-senang dengan menari, ada yang asyik
bermain catur, ada yang duduk bersamadi, dll. Mereka semua bersuka ria, mereka
tersenyum ramah serta mengangguk-anggukkan kepalanya ketika bertatap muka dengan
kami, tetapi kami tidak diajak berbicara atau diwawancara.
Masuk ke dalam Aula, saya
lihat 4 aksara besar lagi, Bhiksu Yen Kwan mengatakan kepada saya bahwa artinya
adalah "Aula Pahlawan Bear". Segera ada dua Bhiksu tua mendekati dan
menyambut kami, salah satu Bhiksu berjenggot putih panjang, dan satunya tidak.
Mereka lihat kedatangan Bhiksu Yen Kwan, segera tiarap di depan Beliau, menunjukkan
penghormatan yang tertinggi. Saya mulai berpikir "Siapa gerangan sang Bhiksu
tua ini? Beliau pasti bukan bhiksu sembarangan, sehingga para arahat di Langit
Tengah memberikan penghormatan yang tinggi kepada Beliau?"
Saat masuk ke dalam Aula,
saya mengamati isi dan keadaan di dalam ruangan besar ini, hanya tampak asap
putih dupa melingkar di atas, dan mengharumkan seluruh ruangan Aula. Lantainya
mengkilat terbuat dari batu putih, yang mengherankan saya yaitu di dalam Aula
tidak ada altar dan tidak ada sama sekali Rupang Buddha, tidak seperti lazimnya
sebuah Vihara.
Namun di atas meja besar penuh dengan persembahan, terutama bunga-bunga
sebesar bola basket, bundar bulat, dan masih segar-segar. Serta macam-macam
lentera berwarna-warni, indah sekali.
Kami duduk di ruangan tamu,
segera bocah itu keluar mengantarkan dua gelas air, rambut si bocah itu di belah
dua, diikat dan dirias menjadi dua konde kecil yang rapi bagaikan dua tanduk
di kepalanya. Ia mengenakan baju hijau, pinggangnya diikat dengan pita emas,
tampaknya bagus sekali. Bhiksu Tua yang berjenggot mempersilahkan kami minum
air putih yang dibawa bocah tadi.
Saya sekali teguk segera habis setengah gelas,
rasanya manis, sejuk, segar. Bhiksu Yen Kwan ikut minum juga. Sehabis minum
badanku merasa menjadi semangat, rasanya tenagaku berlipat ganda, sekujur badanku
merasa segar bugar, dan hilanglah semua lelah.
Setelah Bhiksu Yen Kwan
membisiki sesuatu kepada Bhiksu berjenggot, segera bocah itu disuruh mengantar
saya ke kamar mandi, di sana terletak sebuah ember putih terbuat dari kuningan,
isi penuh dengan air bersih, selesai cuci muka dan mandi, lalu saya mengenakan
jubah abu-abu yang telah disiapkan. Batin saya merasa luar biasa enak dan senang.
Saat ini saya sadar bahwa saya sedang berada di alam suci, kegembiraanku sungguh
sulit dilukiskan.
Kembali ke ruang tamu, saya
segera berlutut di depan Bhiksu berjenggot, dan bernaskara 3 kali, lalu saya
mohon Beliau memberikan petunjuk tentang hari depan perkembangan agama Buddha.
Beliau tanpa menjawab sepatah katapun, mengangkat Mao-Pit (kuas pena Cina) dan
menulis 8 aksara Cina di secarik kertas sebagai berikut:
Fo Ce Sin Cuo
Ciau Yu Mo Cu
Lalu kertas itu diberikan
kepada saya. Keika saya amati arti 8 aksara Cina ini, Bhiksu yang lain menjelaskan,
"Anda boleh membaca 8 aksara ini mulai dari manapun, dari kiri ke kanan,
atau kanan ke kiri, dari atas ke bawah, ataupun dari bawah ke atas, sekarang
saya memberikan 36 kalimat sebagai contoh, dengan 36 kalimat ini, anda dapat
mengetahui perkembangan agama Buddha dalam abad ini, jika anda meningkatkan
secara permutasian (pertukaran) 8 aksara ini dapat membentuk kalimat sebanyak
840 buah yang tidak sama, dari isyarat 840 buah kalimat itu, anda akan mengetahui
perkembangan Agama Buddha di seluruh dunia sepanjang masa, sampai lenyapnya
Agama Buddha."
Sementara ini saya beritahukan
18 kalimat yang pertama, yang meramalkan peristiwa-peristiwa yang sudah lalu/
terjadi, 18 kalimat berikutnya masih menunggu situasi dan kondisi apabila mengijinkan.
(Penjelasan 18 kalimat pertama lihat di lampiran). Selesai pembahasan, Bhiksu
mempersilahkan saya istirahat. Bocah kecil membawa saya ke sebuah kamar, di
dalam kamar tidak ada ranjang hanya sebuah bangku besar. Tempat duduk bagian
atas dibungkus kain sutra halus. Duduklah saya di atas bangku itu, nyamannya
luar biasa, seolah-olah mengambang di udara, seperti duduk tanpa alas.
Tidak lama saya dengar suara
Bhiksu Yen Kwan memanggil saya, saya segera keluar kamar. "Mari kita ke
Khayangan Tusita (langit ke-4 di Karma Dhatu), bersembah sujud kepada Maitreya
Bodhisattva, serta guru Anda Bhiksu Si Yin (Xu Yun). "Saya berterima kasih
kepada Bhiksu Yen Kwan dan menunjukkan kegembiraan saya. Ketika saya ingin berpamitan
dengan kedua Bhiksu Tua, "Tidak usah, waktu tidak banyak!" kata Bhiksu
Yen Kwan, maka kami meninggalkan Arahat Loka tanpa pamitan, segera menuju ke
khayangan Tusita
BERJUMPA BHIKSU
SI YIN DI TUSITA

Sepanjang perjalanan kami terlihat banyak bangunan gapura, istana, dan pagoda
yang semuanya berkilau keemasan, saking banyaknya bangunan yang indah-indah mata
kami tidak sempat menikmati satu persatu. Lagipula Bhiksu Yen Kwan berkali-kali
mendesak supaya mempercepat perjalanan kami. Beliau selalu berkata, "Waktu
sangat sedikit !" (Belakangan saya baru sadar bahwa waktu di Kahyangan berbeda
dengan waktu di dunia kita. Kita tidak boleh mampir di suatu alam terlalu lama.
Andaikata kita tidak cepat-cepat, saat pulang ke bumi boleh jadi sudah beberapa
ratus atau ribu tahun berlalu.)
Kami melalui jalanan yang
terbuat dari batu putih yang mengkilat, beraneka jenis bunga dan rerumputan
di lereng bukit, harum semerbak terbawa oleh angin sepoi-sepoi, badan kami menadi
segar dan bersemangat. Entah melewati berapa tikungan dan berjalan beberapa
kilometer, tiba-tiba di depan kami terpampang sebuah jembatan besar, aneh bin
ajaib, hanya bagian tengah dari jembatan yang terlihat, tanpa dua ujung kaki,
seolah-olah jembatan itu terapung di udara. Saya sedang kebingungan entah harus
naik dari mana. Melihat ke bawah jembatan, wah sangat mengerikan, jurang lebar
dalam tak terlihat dasarnya.
Ketika saya sedang maju
mundur dan terus bertanya dalam hati, bagaimana mungkin saya dapat menyeberang,
Bhiksu Yen Kwan menegur saya, "Sehari-hari Sutra apa saja yang anda baca?",
"Biasanya saya membaca Surangama Dharani". Beliau menyuruh saya segera
memanjatkan mantra. Saya mulai komat-kamit mengucapkan mantra. Seluruh mantra
Surangama Dharani terdapat 3000 kata. Saya baru mengucapkan 20 s/d 30 kata,
pemandangan di depan kami dengan segera berubah.
Tiba-tiba jembatan itu memanjang
dan kedua ujung kaki menyambung ke darat. Warna jembatan menjadi kuning emas,
dan memancarkan sinar keemasan. Jembatan emas itu dihiasi pula tujuh macam intan
permata yang berharga, bagaikan pelangi berwarna tujuh melengkung di angkasa,
megah indah tiada taranya. Pagar pada dua sisi jembatan dihiasi lampu-lampu
dari mutiara yang terang benderang, memancarkan sinar warna-warni. Di atas pintu
gerbang jembatan terpampang 5 aksara besar mirip dengan aksara yang terpampang
di istana yang baru kami singgah tadi. Tebakanku artinya adalah, "Jembatan
Arahat Loka di Langit Tengah". Sesudah menyeberangi jembatan, kami istirahat
sejenak di pavillion persinggahan. Saya tanya kepada Bhiksu Yen Kwan tentang
peristiwa tadi, "mengapa sesudah dibacakan mantra, kedua ujung kaki jembatan
baru tampak?".
Beliau menjelaskan, "Karena sebelum mantra dipanjatkan,
jati dirimu yang murni masih terselubung, sehingga menghalangi padanganmu dan
Anda tidak dapat melihat alam yang suci, alam yang hakiki . Berkat kekuatan
mantra menyapu bersih kabut-kabut gelap karma burukmu, maka jati dirimu yang
murni bersih tanpa halangan dan dapat melihat alam yang hakiki. Seperti orang
bangun dari mabuk/sesat. Sebuah pepatah kuno berbunyi demikian, "10 ribu
mil angkasa pun kulihat, itulah sebabnya."
Kami melanjutkan perjalanan
kami, sambil berjalan saya memanjatkan mantra, tiba-tiba sebuah bunga teratai
mengalasi kakiku, setiap kelopaknya bagaikan lazuardi memancarkan sinar hijau
kebiru-biruan, daun-daunnya juga berkilau-kilau kehijauan. Saya berdiri di atas
bunga teratai bagaikan lepas landas naik ke angkasa melaju cepat seperti angin
kencang. Telingaku mendengar angin menderu, namun badan saya tidak merasa di
terpa angin.
Kecepatannya melebihi pesawat, terlihat benda-benda, bangunan,
pepohonan dan pemandangan lain di depan dengan cepat merebah ke belakang.
Tak lama lagi, badan merasa
semakin hangat, kami tiba di sebuah bangunan yang mirip Tian An Men, tetapi
lebih luas dan lebih megah dari Tian An Men, pilar-pilar berukir naga dan phoenik,
semuanya gemerlapan, berbentuk wuwungan genteng ala istana lama di Beijing,
tetapi seluruhnya berwarna putih perak, seperti sebuah benteng raksasa terbuat
dari perak putih, agung, dan megah.
Pintu gerbang istana perak
putih yang tinggi besar, di atasnya terukir aksara-aksara dalam 5 bahasa, baris
yang paling atas tertulis 3 huruf Cina "Nan Tien Men" (Pintu Langit
Selatan, di bagian selatan Caturmaharajakayika yang dibawah pimipnan Maharaja
Virudhaka). Di dua sisi dalam pintu gerbang berdiri banyak dewa-dewa penyambut,
yang berkostum pejabat sipil, mirip kostum pejabat Dinasti Ching (Manchuria),
penuh hiasan intan mustika berkilau-kilau, indah megah berdiri di satu sisi,
di sisi ainnya berdiri yang berkostum militer, kostumnya seperti baju baja kuno,
bersinar kemilau, berdiri tegap gagah berwibawa.
Mereka semuanya beranjali menyambut
kedatangan kami, tetapi tidak mengucapkan sepatah katapun dengan kami.
Sepuluh langkah dari pintu
masuk, terpampang sebuah cermin besar, guna mencermin atma/sukma kita untuk
membedakan yang bersih dan yang kotor.
Tiada suatu atma yang kotor dapat mengelabui
sorotan dari cermin ini.
Saya lihat banyak pula pandangan-pandangan
yang serba aneh, benda seperti pelangi, seperti bola, seperti bunga, seperti
kilat, berpapasan melewati sisi badanku. Dibalik mega dan kabut, remang-remang
terlihat puncak-puncak bangunan, wuwungan genting istana, pucuk lancip pagoda,
tinggi rendah, jauh dekat, seperti rimba dan pegunungan Bhiksu Yen Kwan berkata
"itulah kahyangan alam dewa Triyamsa (tingkatan alam dewa kedua dari Karmadhatu),
setingkat lebih tinggi dari Catur maharajakayika. Dibawah pimpinan Giok Hong
Tai Te, beliau menguasai 4 penjuru, meliputi 32 alam dewa."
Tanpa mampir, kami dengan
terburu-buru langsung melalui beberapa tingkatan alam dewa, tiba-tiba terdengar
Bhiksu Yen Kwan berkata, "sekarang kita telah tiba di alam Tusita".
Sekejab mata kami sudah berada di depan pintu gerbang istana, kurang lebih 20
orang berdiri disana menyambut kedatangan kami, diantaranya seorang yang tidak
dapat saya lupakan, yaitu mahaguru Bhiksu Si Yin (salah satu Bhiksu yang paling
terkenal di tiongkok pada abad ke 20). Tak terduga Bhiksu Miau Lien dan Master
Fu Yung juga berada di antaranya, mereka semuanya mengenakan jubah sutra yang
merah, indah, dan mewah sekali.
Saya segera berlutut menyembah
sujud kepada guru Si Yin, saya hampir menangis tak dapat menahan keharuan karena
dapat bertemu kembali dengan guru yang kucintai. Sang guru segera menenangkan
saya, " tenanglah, tenang! Tiada sesuatu yang perlu digembirakan dan disedihkan
!, tahukah anda, siapa beliau yang membawa anda kesini?. Beliau Bhiksu Yen Kwan,
jawabku spontan, saya terkejut setelah guru mengungkapkan jatidiri Bhiksu Yen
Kwan,
Beliau adalah yang disebut-sebut anda dari hari ke hari yaitu NAMO TA
CHE TA PEI CIU KHU CIU NAN KWAN SHE ING PHU SAT (Namo Maha Maitri Maha Karuna
Sang Penolong AVALOKITESVARA BODHISATTVA). "
Bukan kepalang kagetnya
saya ! Segera saya bernamaskara di depan Bhiksu Yen Kwan yang merupakan manifestasi
(jelmaan) KWAN SHE ING PHU SAT.
Dalam batinku, saya mohon ampun beribu ampun,
namun karena merasa luar biasa sehingga saya tidak dapat mengutarakan setengah
patah katapun, benar-benar seperti dikatakan makhluk kecil tidak dapat mengenal
benda sebesar gunung Thai.
Makhluk yang terlahir di
alam dewa Tusita, tidak sama dengan manusia di bumi. Tinggi badan yang terlahir
di alam Tusita mempunyai tinggi badan 3 Cang (sama dengan 10 meter) namun berkat
bantuan dari Bhiksu Yen Kwan (Namo Kwan She Ing Phu Sat) badan saya ikut menjadi
besar sesuai dengan keadaan disana, tinggi badanku menjadi 10 meter setinggi
makhluk-makhluk di sana.
Pesan sang guru kepada saya,
bahwa sepulang ke alam dunia (manusia), saya harus rajin berbakti dan melatih
kesabaran, ketabahan (menjalankan Virya Paramita dan Ksanti Paramita), dengan
melalui banyak cobaan, karma buruk kita baru akan tercuci bersih sedikit demi
sedikit, juga pesan untuk merenovasi Vihara-Vihara tempat ibadah yang rusak.
Di alam Dewa Tusita
juga terdapat laki-laki dan perempuan, tua dan muda mereka mengenakan baju mirip
mode baju dinasti Ming.
PETUNJUK MAITREYA
BODHISATTVA

Kemudian, kami bersamaan masuk ke halaman dalam di Alam Dewa Tusita untuk memberi
sujud dan hormat kepada Maitreya Bodhisattva, di dalam aula Istana Maitreya yang
besar dan megah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, dimana-mana berkemilauan
warna keemasan, di atas pintu gerbang istana tertulis 3 huruf cina besar "To
Suai Tien" (Alam Dewa Tusita), dengan warna emas cerah dan berikutnya 4 baris
aksara bahasa lain saya tak mengenalnya. Di aula itulah saya bertemu dan melihat
dengan mata kepala sendiri Maitreya Bodhisattva.
Di luar dugaan bahwa rupa Maitreya Bodhisattva jauh berbeda dengan rupang Maitreya
yang kita puja di dunia, yang berbadan gemuk, perut buncit, selalu tertawa dengan
mulut yang lebar. Maitreya Bodhisattva yang saya temui sesungguhnya sedikit keren,
berwibawa dengan Dvatrimsa-maha-purusa-laksana-nya (32 tanda fisik agung) serta
Asityanuvjinjani-nya (80 bentuk keindahan buddha) benar-benar sangat langka dan
mengagumkan sekali.
Di dua sisi Aula dipenuhi
dengan para Bodhisattva, ada yang duduk dan ada yang berdiri, mereka mengenakan
jubah dan kostum yang beraneka ragam, namun mereka kebanyakan mengenakan Kasaya
merah yang gemerlapan. Mereka masing-masing mempunyai singgasana teratai sebagai
tempat duduk atau alas kaki. Saya maju ke depan berlutut dan bernamaskara di
hadapan Maitreya Bodhisattva, lalu mohon petunjuk Beliau. Beliau bersabda, "
Pada masa yang akan datang Aku akan menjelma di dunia fana (60.000.000.000.000,-
enam puluh triliun tahun), setelah "Lung Hwa San Hwe" (Persamuan Puspa
Naga ke-3).
Saat itu tiada pegunungan yang tinggi di planet Bumi. Daratan merata
bagaikan telapak tangan, Dunia Fana akan menjelma menjadi tanah suci dan damai.
Aku anjurkan antar agama di bumi jagalah kerukunan, saling hormat-menghormati,
saling dorong mencari kemajuan, jangan saling memfitnah dan merusak. Lebih-lebih
antar sekte seAgama Buddha tidak boleh saling menjelekkan, harus saling memperbaiki
kesalahan masing-masing.." (Beberapa petunjuk dari Beliau saya tidak ingat
lagi.)
kemudian saya mohon diri, dan mengucapkan banyak terima kasih atas petunjuk-petunjuk
Beliau.
Selanjutnya Guru Si Yin,
membawa saya ke sebuah gedung bertingkat, didepan gedung seorang perwira berseragam
perwira tinggi jaman Dinasti Ming mirip dengan Maharaja Virudhaka sedang bertugas.
Perwira tersebut memimpin kami masuk ke dalam sebuah ruangan, dan menyuguhkan
kami kue-kue. Saya mencicipi sepotong kue, rasanya harum, manis, gurih dan renyahnya
luar biasa. Saya lahap sampai kenyang seraya tenaga dan semangat badan saya
bertambah berlipat ganda.
Master Fu Yung menjelaskan,
"DI Alam Dewa, madu dan polen bunga adalah makanan pokok kami. Kue-kue
dan makanan ini adalah persembahan dari dewa-dewi di halaman depan, mereka membuatnya
dari perpaduan beraneka macam madu bunga, maka rasanya lezat sekali. Manusia
Bumi makan selai madu bunga ini, akan hilang penyakitnya dan panjang umur, yang
tua akan menjadi muda, anda makanlah sebanyak mungkin akan bermanfaat bagi anda.
Kemudian hari, badanku betul-betul merasa lebih muda dan bertenaga sampai hari
ini saya belum pernah minum obat sekalipun."
Master Fu Yung melanjutkan,
" Orang di Alam Dewa hidup mewah dan santai. Mereka tidak suka kerja keras,
jarang melakukan kebaktian, tidak suka mempelajari Dharma, seperti orang kaya
di Bumi, lupa sembahyang, lupa melakukan kebaikan, apalagi bertapa menjadi biarawan.
Mereka hanya tahu bersuka ria menikmati kesenangan pada saat makmur sekarang.
Mereka lupa mereka masih belum lepas dari Triloka (Karma Dhatu, Rupa Dhatu,
dan Arupa Dhatu). Belum keluar dari 6 alam samsara, belum terbebas dari siklus
hidup dan mati. Kami di sini mengikuti ajaran Maitreya Bodhisttva, dan pada
masa yang akan datang kami akan ikut Beliau menitis (menjelma) di Bumi, membantu
membebaskan lautan samsara, dengan menempuh jalan Kebodhisattvaan ini, barulah
kami dapat mencapai penerangan sempurna.
Guru Si Yin berpesan pula,
"Pada akhir jaman ini, kita harus lebih tabah dan gigih, untuk mempertahankan
misi suci kita, pada situasi dan kondisi paling tabah dan gigih, untuk mempertahankan
misi suci kita pada situasi dan kondisi paling buruk pun, untuk menolong makhluk-makhluk
derita. Jangan serakah dan mabuk dalam kenikmatan pada saat yang senang, dan
usaha menghindari kewajiban pada saat yang buruk. Kita wajib menyadarkan orang
yang jahat, supaya mereka dapat berpaling pada kebajikan.
Dengan demikian orang
baik baru dapat hidup dengan tenang, melakukan kebaktian, pertapaan tanpa halangan.
Pada masa yang paling buruk, orang yang tetap tekun melakukan, mengamalkan Dharma
Buddha, Prajna Paramita, adalah orang yang sungguh-sungguh menjalankan Kebodhisatvaan.
Sesudah anda pulang ke bumi, tolong sampaikan pesanku kepada sudara-saudara
se-dharma, dan saudara sesekte pada khususnya, bahwa Sila Vinaya adalah guru
sejati, mempertahankan disiplin-disiplin yang lama, jangan sok modern, merobah-robah
sistem Sangha seenaknya.
Orang jaman moderen, ada yang mengatakan bahwa "Suranggama
Dharani" itu palsu. Ada yang merubah bentuk dan potongan kasaya (jubah
biarawan), ada yang tidak percaya pada hukum karma, ada pula yang mengatakan
bahwa telor adalah sayur (bukan daging). Mereka enggan bertapa meneladani orang
awam, malahan menghasut, menyelewengkan Buddha Dharma, dengan kata-kata muluk
untuk mencari keuntungan pribadi. Orang-orang demikian adalah jelmaan Mara khusus
untuk mencabut akar Prajna Tathagata (Akar Kebijaksanaan Buddha) di Bumi, mereka
merajalela merusak mental manusia.
Anda sekembali ke bumi, Anda akan berkotbah
keliling dunia. Walaupun keadaan di Cin Tan (Cina) masih buruk, harap anda memugar
kembali Vihara-vihara yang saya dirikan, ketika saya masih berada di bumi, pada
saat Anda masih menjadi muridku, kuberikan nama "Fu Sin" (yang artinya
bangun kembali), anda pasti mengerti maksudku, sadar akan harapanku terhadapmu."
Berhenti sejenak, Guru Si
Yin dengan suara lantang melafalkan syair sekata demi sekata sebagai berikut:
Cing sung siang ye i cien
tou
( Bekat salju dingin
membeku, Pinus makin keras, hijau)
Hai tien i se pien san cien
(Laut, angkasa menyatu
padu, biru meliputi trisahasra lokha dhatu.)
Kemudian Bhiksu Yen Kwan
membawa saya keluar menuju halaman muka istana. Saya terpukau pada pemandangan
Alam Dewa yang gemerlapan penuh dengan aneka warna cahaya. Satwa yang aneh dan
fauna alam Dewa yang beterbangan nyanyi dengan sukaria, kicauan burung, bunyi
lembut binatang serta desiran angin, dari jauh ke dekat, terpadu suatu sonata
musik alam yang merdu. Bocah Alam Dewa, Laki-laki dan perempuan, mengenakan
baju sorgawi yang halus tipis berwarna-warni. Mereka membentuk barisan-barisan
yang rapi. Baris demi baris meluncur dengan asyik membentuk figur-figur yang
indah.
Disana-sini bunga-bunga berkembang subur, berwarna-warni seakan- akan
berlimpah keindahan sangat terpesona. Pavillion, teras, istana, dan pagoda,
jauh dan dekat, semuanya memancarkan sinar yang mengagumkan, indahnya pemandangan
di bumi tidak dapat menandingi seperseribunya.
Saya sedang mengagumi pemandangan
seraya memuji-mujinya, Bhiksu Yen Kwan menunjuk sebuah pagoda raksasa yang lebih
besar dari gunung Gun Lun, yang memancarkan seratus warna cahaya dan berkata,
" Disitulah Thai Siong No Kun (Thay Sang Lau San = Lau Tza) bersemayam
dan disitu beliau mengolah obat." "Saya segera memandang ke sana,
terlihat pagoda pengolah obat yang megah dan tinggi, ditutupi mega awan, remang-remang,
hanya terlihat salah satu bagian dari pagoda, namun bagian yang terlihat sudah
tak terhitung tingkatannya. Bagaikan raksasa terhadang di depan kami. Kami hanya
lihat-lihat dari jauh, tak sempat berkunjung ke dalamnya.
Bhiksu Yen Kwan menjelaskan,
"Pagoda ini adalah tempat tinggal para Dewa tingkat atas, disekitarnya
tedapat banyak "Lin Yuen Su" (Pohon Sukma) dan banyak bunga-bunga,
buah-buahan empat musim. "Menurut cerita orang bahwa seorang petama ilmu
Dewata, jika mereka berhasil, maka pohon sukmanya di Alam Dewa akan tumbuh dengan
baik, sebaliknya, jika mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran, maka pohon
Sukmanya akan layu dan kering."
Saat ini Bhiksu
Yen Kwan mendesak saya dan berkata, "Waktu sangat terbatas, sudah saatnya
saya membawa Anda ke Sukhavati Loka, pemandangan sana jauh lebih indah dari
sini, lebih-lebih bumi tidak dapat menandingi sepersepuluh ribunya."
MENGUNJUNGI
SUKHAVATI LOKA BERNAMASKARA KEPADA AMITABHA BUDDHA

Meninggalkan Alam Dewa Tusita, saya memanjatkan Stathagatosnisam Sitata Patram
Aparajitam Pratyyungiram Dharani (Surangama Dharani), dan di bawah kaki kami
segera muncul singgasana teratai, dengan secepat kilat terbang ke angkasa, sepanjang
perjalanan hanya mendengar suara angin menghembus ke telinga, namun kami tidak
merasakan terpaan angin. Tingginya kecepatan sungguh tidak dapat dilukiskan,
hanya terlihat pemandangan indah di depan dengan cepat sekali terlempar ke belakang.
Kira-kira 15 menit, kami melihat daratan di bawah kaki dan teratai diliputi
pasir dari emas. Dan barisan pohon raksasa yang tingginya lebih kurang 100 meter
berjajar dengan rapi.
Pohon-pohon tersebut, berdahan dan beranting emas, namun
daun-daunnya terbuat dari jade (giok), bentuk daun ada yang segitiga, ada yang
segilima, dan ada yang segitujuh, semuanya berkilau-kilau dan berbunga. Terlihat
pula banyak burung-burung bermacam-macam jenis beterbangan, bulu-bulunya bersinar
berwarna indah. Ada burung berkepala dua, tiga, dan beberapa buah. Ada yang
mempunyai dua pasang sampai beberapa sayap. Mereka beterbangan dengan bebas,
sambil bernyanyi memuji kebesaran Buddha Amitabha. Sekelilingnya dipagari dengan
pagar tujuh warna. Bhiksu Yen Kwan bertutur, "Berdasarkan apa yang disebut
Sang Buddha dalam Amitabha Sutra, '... Tujuh susun jala, tujuh baris jajaran
pohon mustika...,' adalah pemandangan alam ini."
Telingaku mendengar banyak
suara percakapan, tetapi saya tidak mengerti semuanya. "Amitabha Buddha
mengerti semuanya.." kata Bhiksu Yen Kwan. Di perjalanan saya jumpai banyak
pagoda-pagoda tinggi yang terbuat dari 7 jenis mustika, bersinar samar-samar.
Kami berjalan maju terus, akhirnya tiba di depan sebuah gunung emas yang luar
biasa besarnya, entah berapa ribu kali lebih besar dari Gunung Oh Mei di Tiongkok.
Tidak ragu lagi, kami telah
tiba di pusat Sukhavati Loka. Tiba-tiba Bhiksu Yen Kwan menunjuk ke depan dan
berkata, "Kita sudah tiba, di depanmu adalah Amitabha Buddha, Lihatlah
Anda !" Saya bertanya dengan heran, "Di mana? Saya hanya melihat sesosok
tembok besar di hadapan saya."
Sekarang engkau sedang berdiri
di pucuk ujung jari kaki Buddha Amitabha!" Jawaban Bhiksu Yen Kwan yang
tak terduga, sangat mengejutkan saya.
Saya memohon, "Badan
sang Buddha begitu besar dan tinggi, apa mungkin saya dapat melihat Beliau?"
Sesungguhnya, keadaanku
sekarang seperti seekor semut kecil, berdiri di bawah pencakar langit Gedung
Empire Amerika. Biar bagaimanapun saya mendongak kepalaku tak mungkin bisa melihat
seluruh gedung pencakar langit itu.
Bhiksu Yen Kwan menganjurkan
saya cepat berlutut dan memohon berkah dari Sang Buddha Amitabha. Dengan tulus
dan ikhlas saya mohon berkali-kali, tiba-tiba badan saya terus berkembang menjadi
besar, sehingga sampai setinggi pusar Beliau.
Dengan ketinggian badan
saat itu, barulah saya dapat melihat sang Buddha Amitabha sesungguhnya, betul-betul
Beliau berada di depan mata saya Beliau berdiri di sebuah singgasana teratai,
entah berapa jumlah kelopaknya, bersusun bertingkat-tingkat. Setiap kelopak
mempunyai sebuah alam tersendiri, ada istana, pagoda, dan lain-lainnya memancarkan
sinar beribu-ribu warna. Dan setiap utas cahaya menjelma seorang Buddha duduk
di tengah lingkaran cahaya emas. Saya melontarkan pandangan mataku sejauh mungkin,
saya melihat sebuah istana luar biasa besarnya yang bersinar cemerlang keemasan,
dan lebih jauh lagi saya melihat seluruh bentuk luar Sukhavati Loka.
Pada saat ini, Bhiksu Yen
Kwan telah kembali ke bentuk semula-Nya, Kwan Se Ing Phu Sa. Seluruh badan beliau
tembus pandang, berwarna keemasan, jubahnya memancarkan beribu-ribu jenis cahaya,
tidak jelas Beliau laki-laki atau perempuan. Tinggi badan Beliau saat ini lebih
tinggi dari saya, kira-kira setinggi pundak Sang Buddha Amitabha.
Saya berdiri ternganga melihat
peristiwa yang unik dan luar biasa ini, tercengan dan berbisu seribu kata. Jika
saya diharuskan melukiskan atau menceritakan keadaan saat itu dengan terinci,
mungkin membutuhkan waktu 7 hari 7 malam lamanya. Khusus melukiskan tanda fisik
Sang Buddha Amitabha yang sangat istimewa dan ajaib saja waktu setengah hari
tidak akan cukup. Misalnya, mata Beliau yang seluas tujuh samudra di bumi kita.
Menurut cerita Buddha Sakyamuni
di dalam Sutra, bahwa jarak antara bumi kita dengan Sukhabati Loka kami harus
melalui ratusan ribu koti (10 juta) Buddha Ksetra. Jauhnya betul-betul di luar
jangkauan daya pikir manusia. Jika kita naik pesawat secepat cahaya, untuk mencapai
Sukhavati Loka harus kita tempuh dalam waktu 15 miliar tahun. Maka dengan umur
manusia yang begitu singkat, tidak mungkin terjadi seorang manusia hidup sampai
di Sukhavati Loka dengan badan kasarnya. Namun jika anda betul-betul tulus dan
ikhlas berpranidhana (bertekad/prasetya), hanya dalam sekejab mata anda sudah
sampai di Sukhavati Loka.
Andaikata Anda mempunyai umur sepanjang umur bumi,
dari hari jadinya bumi sampai kiamat, juga belum cukup waktu untuk mencapai
Sukhavati Loka. Satu-satunya jalan mencapai Sukhavati Loka yaitu keimanan, kekuatan
pranidhana dirimu, ditambah karunia kekuatan Adhistana Buddha Amitabha. Betul-betul
dengan sekejab mata, secepat pikiran kita, kita akan sampai di Sukhavati Loka.
Saya bernamaskara berkali-kali
kepada Buddha Amitabha mohon kekuatan, kecerdasan, supaya saya dapat bebas dari
siklus lahir dan mati. Beliau bersabda, "Kwan Ing Phu Sha menjemput anda
kemari, berkunjung kemana-mana, pergilah mengikuti Beliau, jangan menyia-nyiakan
kesempatan yang baik ini. Tetapi anda tetap harus kembali ke dunia fana."
Saat itu, makin saya mengagumi
kebersihan, kedamaian, dan kebahagiaan di Sukhavati Loka, makin saya muak akan
kejorokan, kekacauan, dan penderitaan di dunia fana. Saya tidak ingin pulang
ke bumi, saya mohon berkali-kali dengan sedikit merengek, " Di Sukhavati
Loka terlalu indah dan menyenangkan, saya betul-betul tidak ingin pulang, mohon
kasihanilah saya, ijinkanlah saya tinggal di sini, terimalah saya tetap di sini."
Beliau berkata, "Tidak,
bukan saya tidak mau menerimamu disini ,dan memaksa kamu pulang. Sebenarnya
pada dua kalpa yang lalu, engkau sudah tinggal di sini. Dan pada saat itu engkau
telah berjanji, berpranidhana (berprasetya) dengan tekad kembali ke dunia fana,
untuk menolong mereka yang sedang menderita disana. Untuk menunaikan nadarmu,
mau tidak mau engkau harus pulang ke dunia fana. Dengan kunjunganmu kali ini
di Sukhavati Loka, dan meyakinkan mereka bahwa Sukhavati Loka betul-betul ada."
Kemudian Beliau mengucapkan
Gatha (syair) sebagai berikut:
NI I WANG SEN EL CIE CIEN
Jauh pada dua kalpa yang lalu, Kau telah lahir di Sukhavati Loka
CE ING FA YEN TU
CUNG SEN
Berhubung tekad pranidhanamu, untuk menolong makhluk-makhluk fana.
LEI SHE FU MU CHI
CIN SHU
Mereka beryuga-yuga yang lampau, bagaikan ayah bunda sanak saudara.
SHE CIU TUNG KUI
CIU PING LIEN
Nazarmu yang luhur, untuk menyeberangkan mereka ke Sukhavati Loka.
Setelah mendengar gatha Sang Buddha Amitabha , seluruh badanku gemetar teringat
hal ihwal peristiwa dua kalpa yang lalu, seperti gambar hidup yang tampil di
depan mataku dengan jelas dan terang.
Kemudian beliau
berpesan kepada Kwan She Ing Phu Sat, "Silahkan anda membawa dia berkunjung
ke mana saja". Saya bernamaskara kepada beliau tiga kali, lalu kwan she
ing phu sat membawa saya keluar dari panggung mimbar.
Pada saat itu,
saya mengamati semua pintu, lorong, tepi kolam, pagar, gunung dan lahan terayam,
semua bertatah dengan tujuh jenis intan mustika dan semuanya bersinar-sinar
bagaikan dop lampu dan neon. Aneh bin ajaib, benda-benda seperti terbuat dari
bahan materi yang bebentuk, namun semuanya tembus pandang, dapat dilewati tanpa
halangan. Di atas pintu gerbang tertulis 4 aksara emas yang besar dan di kedua
sisi pintu terdapat dua kalimat syair yang saya tidak kenal dan mengerti. Sekarang
saya masih ingat satu aksara berbentuk " ", dan lainnya saya lupa.
Kwan She Ing Phu Sat menjelaskan, 4 aksara tersebut artinya "Istana Pahlawan
Maha Perkasa", juga boleh diartikan "AMITAYUS" ( umur tak terbatas).
Aula itu memancarkan
sinar keemasan dengan gilang gemilang, besar megah bisa menampung beratus-ratus
ribu hadirin. Di dalam aula terlihat banyak Bodhisattva hadir di sana, ada yang
duduk, ada yang berdiri, ada juga yang di luar aula, mereka semuanya berbadan
kristal warna keemasan. Tinggi badan Bodhisattva lebih pendek dari Buddha, diantara
mereka terlihat juga Mahasthama Prapta Bodhisattva dan Nitya Virya Bodhisattva.
"Marilah,
kita mengunjungi ke sana, ke setiap tingkat alam di Surga Sukhavati dari tingkat
terendah sampai ke tingkat tertinggi", ajak Kwan She Ing Phu Sat.
Dalam perjalanan
tak terasa badan kami menjadi makin kecil, ketika mengetahui peristiwa aneh
ini saya bertanya kepada Kwan She Ing Phu Sat. Beliau menjelaskan "Alam
Surga Sukhavati terbagi sembilan tingkat, setiap tingkat berbeda-beda keadaan
alamnya. Untuk menyesuaikan dengan keadaan alam di masing-masing tingkat, maka
kondisi fisik penghuni harus berbeda.
Tadi kami berangkat dari tingkat alam
yang tertinggi menuju ke tingkat alam yang terendah. Antara 9 tingkat alam negeri
teratai ini, tingkat yang teratas penghuninya lebih besar dan tinggi dari penghuni
di tingkat alam tengah, dan penghuni di tingkat alam tengah lebih besar dan
tinggi dari penghuni di tingkat alam rendah. Dan kita sekarang sedang turun
ke bawah. Umpamanya penghuni di bumi tinggi badannya lebih dari dua meter setengah,
sedangkan penghuni alam tertinggi badannya lebih dari 10 meter".
NEGERI TERATAI
TINGKAT TERBAWAH DIHUNI OLEH PEMBAWA KARMA

Sekarang kita sudah tiba
di negeri teratai tingkat Bawah. Daratan di sana merata bagaikan telapak tangan,
tanah berwarna kuning emas yang berkilau-kilau, namun tembus cahaya bagaikan
kaca kristal. Sebentar lagi sebuah lapangan luas besar terlihat di depan mata
kami, terlihat di sana banyak anak gadis berumur 13-14 tahun, diatas kepala
mereka semua. berhias sepasang konde kecil, dihiasi bunga ungu, paras dan potongan
badan mereka cantik-cantik semua. Mereka tidak hanya berpakaian seragam, tinggi
badan dan raut muka mereka hampir sama dan serupa.
Dalam batinku bertanya,
"Mengapa di negeri ini banyak terdapat penghuni yang perempuan?" lalu
saya bertanya kepada Kwan She Ing Phu Sat, "Menurut Sutra bahwa penghuni
Surga Sukhavati tiada jenis kelamin, mengapa disini banyak perempuannya?"
"Sutra tidak salah,
lihatlah tampang dirimu sekarang!" jawabnya. Sungguh mengejutkan sampai
saya tidak percaya dengan penglihatan sendiri, saya sudah menjelma menjadi anak
perempuan yang mirip dengan mereka, baik pakaian seragam, maupun berdandan rias
seperti mereka "mengapa jadi demikian?" saya menjadi bengong.
Kwan She Ing Phu Sat menjelaskan,"
di negeri ini dipimpin oleh seorang Bodhisattva, beliau sebagai penguasa di
sini, jika beliau ingin warganya perempuan, maka warganya semua menjadi perempuan.
Sebaliknya jika beliau ingin laki-laki maka semua warganya menjadi laki-laki.
Sesungguhnya badan penghuni disini bukan dibentuk dari daging darah yang bersifat
materia, lihat semua benda-benda, makhluk-makhluk disini semuanya bening tembus
cahaya bagaikan kristal. Bentuk tubuh mudah berubah, dapat berbentuk perempuan
atau laki-laki, namun sifat intinya tidak berbeda".
Saya amati tubuhku, seperti
apa yang diterangkan oleh Kwan She Ing Phu Sat, tidak terlihat kulit, daging,
kuku, tulang, dan darah, hanya sesosok tubuh kristal yang putih kuning.
Manusia yang lahir di Sukhavati
Lokha Varga Bawah-bawah, semuanya bersih batinnya, mereka membawa serta karma,
sifat kebiasaan mereka masing-masing. Mereka baik laki-laki atau perempuan,
tua, atau muda, "Penjelmaan Teratai" di negeri teratai Varga Bawah-Bawah
ini, semuanya menjadi bocah yang berumur 13-14 tahun, menjadi muda belia, sangat
ramah tamah, dan cantik indah. Bentuk luarnya bisa saja laki-laki atau perempuan,
namun hakekatnya tidak berbeda.
"Mengapa manusia di
bumi yang lahir disini berbentuk sama dan usia juga sama?" saya bertanya
kepada Kwan She Ing Phu Sa.
"Sifat Buddha yang
ada pada setiap makhluk adalah sama, tiada perbedaan. Berkat kekuatan pranidhana
(prasetya) Sang Buddha Amitabha, mereka dapat lahir di sini, dan mereka di beri
hak dan kewajiban yang sama. Tidak memandang ketika di bumi sudah kakek-kakek,
nenek-nenek, setengah tua atau masih muda belia, setelah penjelmaan teratai,
semuanya sama rata berumur 13-14 tahun, dan bentuk luarnya hampir sama. Hal
ini sama dengan bayi baru lahir di bumi, bentuk badan dan raut mukanya juga
hampir sama.", Penjelasan beliau.
Penghuni di Varga Bawah-bawah
setelah penjelmaan teratai, di dalam teratai, setiap hari di beri 2 jam pelajaran
Dharma, yang memberi ceramah adalah seorang Bodhisattva Mahasattva. Ketika genta
berbunyi, jam pelajaran Dharma dimulai, penghuni di kolam teratai, di gedung,
di pavillion, semuanya keluar dari tempat kediamannya berkumpul di Aula. Mereka
berseragam dan berbentuk serupa, oleh karena mereka telah dikendalikan oleh
kekuatan Bodhisattva Mahasattva. Sang Bodhisattva ingin mereka berpakaian merah,
semuanya merah, ingin berpakaian kuning, semuanya kuning; ingin hijau semuanya
hijau.
Penghuni di sini pada siang
hari, mereka keluar dari bunga teratainya bermain-main, menyanyi, menari, melakukan
kebaktian, membaca sutra, atau kegiatan lainnya. Jika jam istirahat mereka kembali
ke bunga teratai masing-masing. Pendek kata, bunga teratai terbuka pada siang
hari, menutup pada malam hari. Waktu istirahat kegiatan mereka di dalam bunga
teratai juga bermacam-macam, ada yang menyebut-nyebut nama Sang Buddha, ada
yang bermimpi indah. (Mereka lahir di sini, berkat karunia Sang Buddha, ada
yang terbawa kekotoran batin, sehingga mereka ketika tanpa sadar sering mengenang
perbuatan atau peristiwa mereka pada masa lampau di bumi.)
Kwan She Ing Phu Sa berkata,
"Mari kita melihat-lihat di lapangan sana."
Kami tiba di lapangan, mula-mula
terlihat kurang lebih 20 orang anak gadis, kemudian jumlahnya terus bertambah
dari puluhan, ratusan, ribuan, sehingga ratusan ribu anak gadis yang hampir
serupa memenuhi semua gedung, aula, dan lapangan. Penampilan mereka seolah-olah
untuk tontonan kami. Dalam sekejab mata mengumpulkan orang sebanyak ratusan
ribu orang di sana sangat mudah. Andai kata di bumi kita ingin mengundang atau
mengerahkan masa sebanyak puluhan ribu saja harus persiapan sampai beberapa
hari.
Kemudian kami berada di
kolam teratai, terlihat air kolam berbeda dengan air kolam di bumi, air sana
tidak berbentuk cairan, melainkan merupakan gas.
"Mandilah engkau di
kolam sana!" anjur Kuan She Ing Phu Sa. "Bagaimana kalau baju saya
basah kuyup nanti?" Saya ragu-ragu dan takut karena saya tidak bisa berenang.
"Jangan khawatir, air di sini berbeda dengan air di dunia sana." Tutur
Beliau.
Saya menuruti anjuran
Beliau, dengan sedikit gemetar, perlahan-lahan turun ke kolam. Sungguh benar
kata Beliau bajuku tidak basah. Di samping itu pula, ketakutan hilang, yang
mula-mula saya khawatir bisa tenggelam di bawah kolam. Eh, tidak disangka saya
bisa berenang. Saya bisa timbul, menyelam, belok kanan, dan belok kiri menurut
kehendak-ku. Saya berputar-putar di dalam kolam, alangkah nikmat dan gembiranya.
Terdorong oleh naluri ingin tahu, saya coba air kolam seteguk, luar biasa segar
dan manis, kemudian saya minum sepuas hati. Badan saya terasa makin kuat dan
segar, dan semangatku menjadi berlipat ganda. Badanku seolah-olah menjadi ringan
bisa terbang. Saya coba lagi memegang-megang bajuku sama sekali tidak basah.
Saat ini saya makin berani menjauhi tepi kolam. Ketika saya berenang sampai
di tengah kolam, terlihat banyak sekali bunga teratai, semuanya indah-indah
berkembang dengan cemerlang. Saya menjumpai beberapa kuntum bunga teratai yang
berhuni bocah yang sedang rajin menyebut nama Sang Buddha. Saya menjumpai juga
beberapa bunga teratai yang layu, yang patah kelopak atau tangkainya, bahkan
ada yang sudah mati kering. Belakangan saya baru diberi tahu bahwa yang disebut
dalam Amitabha Sutra tentang Air delapan pahala (Pa Kung Te Sui), yaitu air
kolam yang saya selami dan minum air sepuas-puasnya.
DELUSI PENGHUNI
DI NEGERI TERATAI VARGA BAWAH TINGKAT BAWAH

Pada umumnya, penghuni di
negeri teratai varga bawah-bawah, ketika masa hidupnya di dunia fana, mereka
sangat tekun menyebut nama sang Buddha Amitabha, dan berkeyakinan keras mereka
akan lahir di Sukhavati Loka sesuai dengan Pranidhana-Nya Yang Maha Karuna.
Namun mereka lahir di Sukhavati Loka masih membawa karma-karma buruknya (Tai
Ye Wang Sheng).
"Apakah maksudnya sebutan
'Pembawa serta karma-karma lahir di Surga Sukhavati Loka itu?'"
Penghuni Sukhavati Loka, pada masa hidupnya di dunia fana yang silam, pernah
berbuat jahat (karma buruk), misalnya membunuh, mencuri, menipu, memfitnah,
mencelakakan orang, mengadu domba, berzina, dan lain-lain. Sebenarnya, pelaku
Dasakusala (Sepuluh Kejahatan) tidak diperbolehkan lahir di Tanah Suci, namun
mereka pada hari tuanya, memperoleh mitra yang baik, bijaksana, dan memberkenalkan
tentang Dharma, mengajar mereka membaca Sutra, sehingga mereka menyesal kesalahan
mereka yang lampau, dan betul-betul bertobat, pada sisa masa hidupnya tekun
menyebut nama Sang Buddha Amitabha, berkat kekuatan Pranidhana Sang Amitabha,
mereka diterima lahir di Sukhavati Loka Varga Bawah-bawah. (Negeri teratai Bagian
Bawah di sektor yang Bawah)
Sukhavati Loka dibagi 9
Varga atau 9 tingkat. Penghuni Varga bawah-bawah (Tingkat Bawah) jika ingin
meningkat naik ke Varga Atas-atas (Tingkat Teratai Atas), mereka harus bertapa
selama 12 kalpa. Satu kalpa sama dengan 16.798.000 tahun, maka mereka yang dari
Varga Bawah-Bawah meningkat ke Barga Atas-Atas membutuhkan waktu 201.576.000
tahun.
Namun kita yang hidup di dunia fana, harus bersyukur, karena bila selalu
menghindari perbuatan jahat, melakukan kebaikan, tekun melakukan meditasi, mungkin
dalam 35 tahun kita dapat mencapai Varga Tengah, atau Varga Atas. Bahkan bila
kita pada masa kelahiran yang lampau telah menanam bibit kebajikan, mungkin
pada masa kelahiran ini, kita sudah dapat mencapai ke-Buddha-an.
Sesungguhnya "Badan
Manusia Sungguh Sulit Diperoleh"., perkataan Sutra ini sangat benar, maka
kita harus menghargai masa hidup sebagai manusia ini, jangan menyia-nyiakan
masa emas ini.
Maka tekunlah bermeditasi pada kesempatan yang baik ini, dengan
kemungkinan besar kita akan lahir di Varga Atas-Atas, Ketika "Bunga Teratai
Berkembang Akan Menjumpai Buddha" (Hua Kuai Cien Fo). Bhiksu Yin Kwan dan
Bhiksu Hong Ti adalah contoh hidup (nyata), mereka lahir di Varga Atas-Atas.
(hal ini akan saya terangkan di belakang).
Ketika kembali menceritakan
dunia fana yang kita alami. Pada umumnya makhluk atau manusia di dunia fana
terdapat 8 (delapan) delapan jenis penderitaan, yaitu lahir, tua, sakit, mati,
yang diinginkan tidak tercapai, berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan
yang dibenci, pembaraan api panca skanda. Penderitaan-penderitaan tersebut tidak
terdapat di Sukhavati Loka, biarpun di Varga Bawah-Bawah juga tidak menemukan
penderitaan, di Sukhavati Loka hanya ada Suka tiada Duka, Maka disebut Dunia
Suka Ria. Walaupun penghuni di Varga bawah-bawah untuk mencapai Varga Atas-Atas
membutuhkan waktu 12 kalpa lamanya.
Namun dijamin pasti akan meningkat setingkat
demi setingkat, sampai tercapai Kebudhaan disana tidak ada jalan mundur, dan
tidak perlu khawatir terjerumus kembali ke alam samsara. Seluruh proses pertapaan,
dari awal sampai akhir, semuanya berlangsung dalam keadaan "Sangat Gembira".
Bunga Teratai di Varga Bawah-bawah
jauh berbeda dengan teratai di Bumi. Besarnya antara setengah sampai satu setengah
kilometer persegi. Tingginya setinggi gedung 4 tingkat. Semua teratai memancarkan
cahaya terang. Jika penghuni di dalam teratai merenungkan masa lampau, atau
menimbulkan macam-macam delusi, maka warna bunga teratai segera pudar dan hilang
sinarnya. Kebalikannya jika mereka tidak mengingat kembali karma-karma masa
lampaunya, dalam batinnya bersih bening tanpa delusi, maka bunganya akan memancarkan
aneka macam cahaya.
Berikutnya saya menceritakan
dua contoh yang nyata: Kwan She Ing Phu Sa berkotbah, "Insan berperasaan
pada beryuga-yuga (kelahiran-kelahiran) yang lampau, telah berulang-ulang membuat
aneka macam karma. Karma yang berulang-ulang menjadi sifat./penyakit kronis,
sampai terbawa mati, ikut serta lahir di Sukhavati Loka, kekotoran batin/delusi
karma mereka pada waktu istirahat, dengan tidak terasa sering terpantul keluar
dan tampil di layar bayangan mereka Hal demikian paling banyak terjadi pada
penghuni Varga Bawah-Bawah.
Mereka makin meningkat pada Varga Bawah Tengah,
lalu Varga Bawah Atas, kotoran batin/delusi karmanya semakin berkurang dan hilang.
Karma-karma yang sulit mereka lupakan pada umumnya cinta kasih yang mendalam
terhadap orang maupun benda yang dicintai/disayangi yang mereka tinggalkan di
dunia fana. Misalkan cinta kasihnya terhadap ayah bunda, saudara-saudara, kekasih,
dan lain-lain, atau kenikmatan terhadap kesohoran, pujian, makanan, minuman,
harta benda yang mereka pernah miliki. Hal-hal tersebut sering terpantul kembali
bagaikan impian. Mari saya membawa anda menyaksikan sendiri kenyataan tentang
pantulan karma/delusi."
Melalui beberapa belokan,
kami menemukan bunga teratai yang pudar warnanya. Kami masuk ke dalam bunga
teratai, terlihatlah sebuah gedung bertingkat yang besar dan megah, lebih megah
ke dalam dari istana, mempunyai taman bunga yang ditata rapi dan indah sekali,
benda-benda antik di ruang tamu halus-halus, dan tak ternilai harganya, semua
dekorasi dalam ruang kamar halus mewah berselera tinggi, bagaikan rumah kediaman
Perdana Menteri. Di dalam gedung dihuni puluhan sanak saudara (keluarga), orang,
tua muda, laki-laki perempuan, semuanya berpakaian mewah-mewah. Banyak pula
pelayan-pelayan keluar masuk, hiruk pikuk, seperti sedang mempersiapkan suatu
pesta besar.
Saya bertanya kepada Kwan
She Ing Phu Sa, "Mengapa di sini masih ada orang hidup berkeluarga seperti
di bumi?"
Beliau menjelaskan,"
Orang ini waktu mendekati ajalnya ,tekun melakukan kesucian, tulus berbakti
kepada Buddha Amitabha, akhirnya berhasil lahir di
Sukhavati Loka, namun sifat
atau kebiasaan yang telah sangat melekat pada dirinya yang berkalpa-kalpa lamanya
sulit dibersihkan dengan seketika.
Orang-orang di dalam rumahnya
adalah ayah bundanya, isterinya, kekasihnya, saudara-saudaranya, anak cucunya,
serta famili-familinya yang amat ia cintai pada masa lalu di dunia fana. Kasih
sayangnya yang mendalam kepada mereka, sungguh sulit baginya untuk melupakan
dan melepaskan mereka. Maka setiap waktu istirahat di dalam bunga teratainya,
kerinduannya terhadap sanak keluarga dan orang-orang yang dicintai muncul, dengan
seketika mereka berkumpul di sekelilingnya.
Sesuai dengan sebutannya,
di Sukhavati Loka suka ria tanpa duka derita, maka penghuninya ingat ayah bundanya,
ingat isteri datanglah isterinya, ingat gedung mewah, muncullah gedung mewah,
ingin makan enak, hidangan enak lezat segera berada di depannya. Macam-macam
peristiwa akan tampil bila ia hendaki, bagaikan impian ketika kita sedang tidur.
Saat kita bermimpi kita menganggap segala peristiwa di dalam alam impian adalah
sungguh dan nyata, namun setelah kita terbangun baru menyadari peristiwa-peristiwa,
orang, gedung, harta benda.. dan sebagainya yang terjadi di dalam impian, hanyalah
khayalan kosong belaka. Hal demikian disebut pantulan karma atau delusi adalah
bayangan kosong, dan sesungguhnya keluarganya di bumi sedikitpun tidak mengetahui
hal-hal tersebut."
Uraian Kuan She Ing Phu
Sat sangat bermakna. Coba kita renungkan hidup kita di bumi ini, bukankah suatu
impian yang panjang, keitka sukma kita meninggalkan jasad, segala harta benda,
orang-orang yang kita miliki dan cintai tidak dapat kita bawa serta,dan bukan
lagi milik kita, bagaikan suatu impian panjang dan pada akhirnya menjadi kosong
hampa.
Kuan She Ing Phu Sat melanjutkan,
"penghuni di Varga Bawah-Bawah mempunyai delusi dan lamunan melebihi keinginannya
di bumi. Karena di dunia fana adalah dunia materi yang banyak dan besar hambatannya.
(misalnya, terhalang selembar kertas tipis saja, kita tidak dapat melihat benda
di belakang kertas. Zat materi selalu berubah seperti metabolisme. Jika persyaratan
cukup menjadi hidup, jika persyaratan kurang menjadi mati atau musnah), maka
banyak hal dan benda dikehendaki tidak bisa diperoleh, sehingga timbul resah
dan penderitaan!
Di Sukhavati Loka tidak terjadi hal demikian, karena dunia
ini bukan dunia materi. Apa yang kau inginkan (delusi), segera akan kau memperolehnya.
Dan akan engkau nikmati tidak terbatas. Sukhavati Loka adalah Sunyata (kosong,
hakekat), meliputi seluruh Dharma Dhatu. Alam Dewata (kayangan) tergolong alam
Astral (mental, spiritual), walau penghuni sana memiliki kesaktian, namun masih
terbatas. Masih ada tidak bisa tercapai. Dunia fana bersifat materi, mempunyai
hambatan berlapis-lapis, maka yang diinginkan oleh manusia sulit tercapai.
"Apa bedanya Alam Delusi
(impian) di dunia kita dengan alam hakiki yang murni bersih yang dicapai oleh
sang Tathagata?", tanya saya kepada Kuan She Ing Phu Sat?"
Petunjuk Beliau adalah,"
Alam hakiki adalah alam kekal yang tidak pernah lahir pun tidak akan musnah.
Alam tersebut senantiasa memancarkan beraneka macam cahaya. Dunia delusi adalah
dunia yang tidak tetap, selalu berubah, tidak dapat memancarkan cahaya, setelah
makhluk itu terbangun, akhirnya mereka baru sadar segala sesuatunya yang terjadi
hanya khayalan kosong belaka. Seperti makhluk bumi bermimpi melihat gunung,
sungai, manusia, benda, gedung-gedung dan kota, ketika mereka bangun dari impian,
semuanya hilang lenyap.
Maka peristiwa-peristiwa di dunia fana dikelabui oleh
delusi menjadi fanatik terhadap materi, kuasa, dan nama. Mereka demi harta benda,
sejengkal tanah, 'kehormatan' mengorbankan jiwa raganya, namun sampai akhir
hayatnya, tidak sesuatupun terbawa oleh mereka, melainkan kedua tangan hampa
saja. Lebih malang lagi sukmanya selalu berputar-putar di alam samsara tidak
bisa bebas. Dan sesuai dengan karma mereka masing-masing memperoleh ganjaran
yang setimpal. Ingin terbebas dari lautan derita (alam samasara), cepatlah bangun,
maka pantai seberang tidak akan jauh lagi. "
Menurut Kuan She Ing Phu
Sat bahwa tuan rumah tadi sekampung dengan saya, dia orang dari propinsi Hok
Kien, Kabupaten Phu Tien, berbahasa sama dengan saya. Lalu Kwan She Ing Phu
Sat mengajak saya masuk ke dalam gedung.
Sesuai dengan penjelasan
Kuan She Ing Phu Sat beberapa waktu yang lalu, bahwa timbulnya fenomena (kejadian
yang khayal) disebabkan oleh delusi-delusi (pantulan karma yang terbawa dari
masa-masa hidupnya di dunia fana), maka delusi musnah, fenomena juga segera
hilang.
Di ruangan tamu terlihatlah
banyak meja-meja penuh dengan hidangan yang lezat, kira-kira sedang mengadakan
pesta besar. Kurang lebih 70 orang menghadiri pesta itu hiruk-pikuk, ramai sekali.
Di tengah-tengah ruangan tamu seorang tua berusia 70-an,wajahnya penuh dengan
senyum gembira, gayanya ala orang kaya di bumi. Saya tebak dia pasti tuan rumahnya.
Melihat saya datang, dia menerima saya dengan ramah- tamah, dan mempersilahkan
saya duduk.
Dia bertanya, "Dari
manakah anda?"
"Saya baru datang dari Hok Kien, Phu Tien, kita adalah sekampung halaman."
Saya jawab dengan bahasa daerah Pu Tien.
Seketika dia mendengar sekampung
halaman dengannya, luar biasa gembiranya ia mengangguk-anggukkan kepalanya tidak
berhenti-henti, "Bagus ! Bagus!"
"Eh, ada pesta apa
ini?" tanya saya.
Dia tersenyum simpul, balik bertanya, "Bagaimana anda bisa datang kemari?"
Lalu saya menunjuk Bhiksu
Yen Kwan (Kwan She Ing Phu Sat) yang berdiri di dekat pintu, dan memperkenalkan
sekalian, "Berkat bantuan besar Kuan She Ing Phu Sa, saya bisa datang ke
sini, dan mengunjungi rumah anda."
Setelah mendengar nama Kuan
She Ing Phu Sat, si tuan rumah seolah-olah tersentuh aliran listrik, mukanya
yang riang gembira segera berubah menjadi malu dan merasa bersalah, karena masih
belum bisa meninggalkan kebiasaan yang tidak baik warisan hidup masa lampau.
Dengan seketika gedung mewah,
tamu-tamu, keluarga yang kurang lebih 70 orang, suasana hiruk pikuk, hilang
tanpa bekas.
Tuan rumah yang berumur
70-an,dengan sekejab berubah menjadi bocah 13-14 tahun, ia duduk tegak di atas
bunga teratai, seluruh tubuhnya menjadi putih bening bagaikan kristal, yang
amat elok indah.
Sesuai dengan penjelasan
Kuan She Ing Phu sa, beberapa saat yang lalu, bahwa timbulnya fenomena (kejadian
yang khayal) disebabkan oleh delusi-delusi (pantulan karma yang terbawa dari
masa-masa hidupnya di dunia fana), maka delusi musnah, segera fenomena juga
hilang.
Orang tersebut di atas pada
masa silam masih terbawa sifat-sifatnya yang suka pamer, suka pesta yang sudah
mendarah daging, sulit dihilangkan, kebiasaan-kebiasaan tersebut sering kambuh,
maka fenomena pantulan karma dahulu selalu terjadi di bawah sadar.
Kemudian dia memperkenalkan
diri kepada saya, " Saya berasal dari Hok Kien, Pu Tien, desa Han Ciang
Tuo Tuo, bernama Lim Tao Yi, lahir di keluarga yang kaya, dan tersohor di desa
Tuo Tuo. Masa hari tuaku telah memperoleh bimbingan dari seorang umat yang bijaksana,
beliau menganjurkan saya senantiasa memenjatkan doa dan menyebut-nyebut nama
Sang Buddha Amitabha, dan pada akhir hayatku saya dapat menyebut nama Sang Buddha
Amitabha sebanyak 10 kali dengan tenang, akhirnya diterima lahir di Sukhavati
Loka, namun sayang sekali hambatan karmaku bertumpuk, cinta kasihku terhadap
keluarga dan keinginan terhadap harta benda, kesenangan duniawi belum bisa ditinggalkan
semua, kekotoran batin ini sering mengacaukan jati diriku, lalu timbul delusi-delusi
macam-macam. Kuan She Ing Phu Sa pernah dua kali memberi petunjuk kepada saya,
cara membersihkan delusi-delusi yang sangat melekat pada diriku itu. Tetapi
penyakit kronis ini suka kambuh, sungguh sulit dihilangkan, dan membuatku malu!"
Ketika kami pamit untuk
berpisah, dia pesan kepadaku agar membawakan kabar untuk anaknya, yang bernama
A Wang bertempat tinggal di Singapore, bahwa dia (Ayah A Wang) telah meninggal
dunia di Tiongkok, dan lahir di Sukhavati Loka.
Kuan She Ing Phu Sa sering
menganjurkan kepada yang lahir di Sukhavati Loka Varga Bawah-bawah, sering mandi
dengan Air Delapan Jasa Pahala, supaya delusi, kotoran batin mereka dapat tercuci
bersih, dan batinnya lambat laun akan menjadi bersih cerah bercahaya, maka jati
dirinya akan tampil dengan 'muka aslinya'.
Saya mengikuti Kuan She
Ing Phu sa datang ke sebuah tebing yang curam. Saat ini saya menjumpai suatu
peristiwa yang aneh, seorang perempuan kurang lebih 20 tahun , mengenakan baju
hitam, menangis tersedu-sedu di atas tebing tinggi itu. Hal ini sangat mengejutkan
saya. "Mengapa di dunia suka ria yang tanpa duka, bisa ada orang menangis
dengan sedih-pedih yang sangat memilukan?"
Kuan She Ing Phu Sa seolah-olah
telah membaca isi hatiku. Beliau menganjurkan saya langsung bertanya saja kepada
si dia. Saya segera mendekati dia sambil merangkapkan kedua tanganku dan menyapa,
"Nona,mengapa anda menangis?" Ia segera mendongak kepalanya dan memandang
kepada saya, ia tidak menangis, malahan tersenyum kepada saya dan berkata, "
Saya terkejut melihat tebing tinggi ini, segera mengingatkan saya peristiwa
masa lampau yang sulit saya lupakan, sehingga timbul delusi tadi." Selesai
perkataannya segera menjelma menjadi gadis 13-14 tahun duduk tegak di atas sebuah
bunga teratai yang berada di tengah-tengah kolam, seluruh tubuh menjadi putih
bening bagaikan kristal, seraya tebing tinggi menjadi hilang tanpa bekas.
Kemudian ia menceritakan
riwayatnya kepada saya, "Saya berasal dari Hok Kien, Kabupaten Suen Jhang,
Bernama X X X, umur 21 tahun, saya adalah upasika yang telah berlindung kepada
Sang Buddha, pada tahun 1960 saya bertekad meninggalkan segala keduniawian menjadi
biarawati, namun selalu dihalang-halangi orang, niat saya digagalkan, dengan
pikiran sesat saya bunuh diri melompat dari tebing yang curam tadi.
Berkat Maha
Karuna Kuan She Ing Phu Sa, mengingatkan ketulusan hatiku, saya ditolong oleh-Nya,
sehingga saya dapat lahir di Sukhavati Loka. Karena saya baru saja lahir di
sini, maka delusi kotoran batin masih melekat padaku, kadang kala saya tidak
dapat mengendalikan emosi diri, peristiwa masa yang lalu dengan sendirinya terpantul
kembali, bagaikan mimpi buruk di dunia Saha, sehingga dalam batinku sering tampil
peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan. Walaupun Kuan She Ing Phu Sa sering
menguraikan Dharma kepada kami, tetapi susah sekali melupakan peristiwa tadi."
Saya menyampaikan simpatiku
kepadanya sambil mengenalkan Kuan She Ing Phu Sa, "Lihatlah anda, bukankan
Kuan She Ing Phu Sa sudah berada di samping kita."
Ia segera bernamaskara kepada
Kuan She Ing Phu Sa, Beliau menganjurkannya, "Cepat pergi ke kolam, mandi
dengan Air Delapan Jasa Pahala, banyak mandi dengan air tersebut, karma burukmu
pada masa silam akan berangsur-angsur tercuci bersih."
Di dalam kolam teratai terlihat
beberapa bunga teratai yang layu dan kering, saya bertanya kepada Kuan She Ing
Phu Sa, "Mengapa bisa sampai demikian?"
Beliau menjelaskan, "Beberapa
bunga teratai yang layu bahkan ada yang mati, oleh karena ada manusia di dunia
yang pada mulanya berkeyakinan pada Sang Buddha sangat tekun mempelajari Dharma,
rajin menyebut nama Sang Buddha Amitabha, mereka juga telah menabur bibit ke-Buddhaan
(Teratai di Sukhavati Loka), dan bibit tersebut tumbuh dengan baik dan subur.
Namun di kemudian hari ia telah mundur, malas melakukan kebaktian, imannya terhadap
Buddha telah koyak, bahkan membuat 10 kejahatan. Bunga teratai yang layu itu
adalah milik si XXX, ia mula-mula berlindung kepada Buddha, belakangan menjadi
pejabat, karena sibuk tidak pernah membaca, tidak menyebut nama Sang Buddha,
tidak bermeditasi, tidak pantang makan daging (Cia Chai), akhirnya ia melakukan
kejahatan, dihukum mati oleh pemerintah, sehingga tangkai teratainya telah putus.
Teratai yang kering mati
lainnya, dimiliki oleh seorang berasal dari kabupaten Yung Tai, ia berlindung
kepada Triratna, juga telah diberkahi oleh seorang Bhiksu, tekun belajar Dharma
selama 3 tahun, mula-mula bunga teratainya tumbuh dengan subur dan indah, di
kemudian hari ia lupa akan ajaran Buddha, dengan segala akal muslihat ia mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi akhirnya ia jatuh bangkrut, hutangnya
bertumpuk, dan dikejar-kejar orang, dan mengakhiri hayatnya dengan membunuh
diri, maka bunga teratai menjadi kering dan mati.
Saya bertanya, "Menurut
almarhum Bhiksu Jhan Liang, kita menyebut sekali nama Buddha dapat menghapuskan
dosa-dosa sebanyak butir pasir di sungai Gangga, dan orang tersebut tadi telah
menyebut-nyebut nama Buddha selama 3 tahun, mengapa tidak ada pahalanya?"
Beliau menjelaskan, "Orang
awam tidak pernah mendekati Dharma, ia berbuat jahat karena avidya (tidak pengertian),
setelah memperoleh petunjuk dari umat yang bijaksana ia sadar akan kesalahan,
betul-betul bertobat, dengan tulus ikhlas berdoa, mohon pengampunan atas kesalahannya,
dengan tekun menyebut-nyebut nama Buddha. Kekuatan doa yang tulus ikhlas demikian
tak terhitung banyaknya. Selanjutnya dengan keteguhan imannya terhadap Sang
Buddha, sampai akhir hayatnya, ia lahir di Sukhavati Loka Varga Bawah-Bawah,
walau membawa karma-karmanya yang lampau, namun telah bebas dari kekuatan hukum
karma, maka ia telah terjamin tidak akan mundur dan maju terus sampai tercapainya
ke-Buddha-an."
Berhenti sejenak, Beliau
melanjutkan, "Ada sebagian orang yang menyebut nama Sang Buddha hanya dibibir,
namun dibalik hatinya berbisa seperti ular, dengan sembunyi-sembunyi mencelakakan
orang, membuat kejahatan-kejahatan lainnya. Orang demikian tidak bisa lahir
di Sukhavati Loka. Mereka yang telah menabur bibit bunga teratai di Sukhavati
Loka, bila bibit baik mereka masih ada dan belum musnah, asalkan mereka menyadari
kembali, mengaku kesalahannya, bunga teratainya akan segar bugar kembali memancarkan
cahaya beraneka warna."
Menurut Kuan She Ing Phu
Sa, orang di dunia Saha baik kaya miskin, tinggi rendah pangkatnya, baik buruk
tampangnya, pandai atau bodoh, tua atau muda, maupun laki-laki atau perempuan,
dari semua lapisan masyarakat dan bangsa, asalkan mereka bertulus ikhlas, rajin
membaca sutra, menyebut nama Sang Buddha, berhenti melakukan semua perbuatan
jahat, banyak melakukan kebaikan, ucapan sesuai dengan hatinya, melakukan prinsip-prinsip
ini sebaik-baiknya, niscaya bunga teratainya di tanah suci pasti tumbuh dengan
kokoh dan subur, dan pada akhir hayatnya pasti dijemput Sang Buddha Amitabha,
melalui proses penjelmaan Bunga Teratai lahir di Sukhavati Loka.
Jika ragu-ragu,
tidak konsisten, kadang-kadang rajin, kadang-kadan malas, biarpun bunga teratainya
telah tumbuh, namun tidak akan subur dan indah. Apalagi mereka berbuat jahat,
dan matinya karena 10 kejahatan, mereka tidak akan bebas dari alam samsara,
pasti tidak dapat lahir di Sukhavati loka.
Sesaat kemudian tiba-tiba
seorang biarawati mendekati sampai di depan saya, saya segera ingat dan kenal
dia. Dia adalah Abbot di Vihara Cu San Yun di Propinsi Ciang Si, umurnya lebih
dari 30 tahun. Ketika ia bertemu dengan saya, saking gembiranya ia menyapa saya
dengan sedikit berteriak. "Hai! Cuan Cing She Siung (kakak seperguruan/
Saudara sedharma), Selamat Datang! Selamat Datang! Kung Si! Kung Si! (Ucapan
Selamat)."
"Kapan anda lahir di
sini, mengapa saya tidak memperoleh kabar?" tanya saya.
Ia menceritakan, pada tahun
1971, saya dipaksa keluar dari Vihara, dan saya tidak boleh menjalankan hidup
suci (biarawati), saya tolak paksaan itu lalu saya ceburkan diri ke dalam sungai.
Saya tahu tindakan bunuh diri termasuk tindakan 10 kejahatan, namun demi membela
Dharma dan kesucian diri, saya tetap memilih membunuh diri. Berkat Maha Maitri
Karuna Sang Buddha Amitabha, ingat teguhnya imanku, Beliau menerima saya lahir
di Sukhavati Loka, saya juga pendatang baru."
"Semua penghuni Sukhavati
Loka Varga Bawah-Bawah telah menjelma menjadi bocah berumur 13 tahun, mengapa
anda tetap dengan tampang seperti dahulu di dunia fana?" tanya saya.
"Saya mendengar
kabar kedatangan anda, saya segera ingat kita bertemu pada masa lampau di bumi,
maka segera kembali ke bentuk masa yang lampau, dan supaya mempermudahkan anda
mengenal saya. Bagaimana kabar Saudara Cuan Chong (saudara seperguruan dari
Bhiksu Cuan Ching) ?" Jika bertemu dia, tolong sampaikan keadaanku disini,
agar mendorong dia lebih tekun berbakti, dan rajin melakukan pertapaan."
PAGODA VIMALA
VIPASSANA DAN BAHASA DHARANI

Tiba-tiba terdengar bunyi
genta, Kuan She Ing Phu Sa memberitahu saya, bahwa bunyi genta itu menandakan
khotbah akan dimulai. Saat ini terlihat berpuluhan ribu bocah laki-laki berumur
13-14 tahun, mengenakan baju merah, pinggangnya diikat dengan pita kuning emas,
kepala berkonde dua, semuanya berseragam, berbaris dengan rapi, badan, kepala,
tangan, kaki mereka semuanya putih bening bagaikan kristal. Mereka lari berkumpul
di bawah podium teratai.
Mereka saling beranjali, saling memberi hormat. Kemudian
musik dimulai, riang merdu terpesona, segera burung-burung beraneka warna melayang-layang
mengitari di atas band musik, dan berkicau bernyanyi mengikuti irama musik,
dalam syairnya seolah-olah menyebut nama Sang Buddha. Tidak lama kemudian dari
podium muncul seorang Bodhisattva. Beribu-ribu jenis cahaya terpencar dari tubuhnya,
sungguh indah dan mengagumkan.
"Beliau adalah Mahasthamaprapta Bodhisattva yang pada hari ini memperoleh
giliran memimpin tata cara serta memberi khotbah.: Bisik Kuan She Ing Phu Sa.
Saat ini beraneka warna
bunga turun dari angkasa. Hujan bunga indah ini disertai berbagai macam benda
aneh cantik dan amat berharga. Bocah-bocah mengangkat tepi bawah salju untuk
menadahi bunga-bunga dan benda-benda yang turun Kemudian ruang langit yang luas
itu dipenuhi dengan kilauan ribuan kilat, sinar laser yang beraneka warna, membentuk
bunga, figura, macam-macam bagaikan kembang api luar biasa indahnya.
Di Varga Bawah-bawah ada
sebuah "Aula Dharani Bahasa".
Maksudnya Dharani Bahasa adalah setiap
kata yang diucapkan oleh Sang Bodhisattva di Aula tersebut akan dimengerti oleh
setiap hadirin seperti bahasa itu sendiri, walaupun para hadirin terdiri dari
berbagai bangsa yang hanya mengerti bahasa bangsanya masing-masing. Dharani
Bahasa ini tanpa melalui penterjemah para pendengar dapat langsung mengerti
sejelas bahasa sendiri.
Di samping aula Dharani
Bahasa ada lagi sebuah pagoda yang sangat tinggi sekali, yang disebut "Pagoda
Vimala Vipassana" (Pagoda Visualisasi Kemurnian). Bagi penghuni di dalam
pagoda yang ingin naik ke atas atau turun ke bawah tidak menggunakan lift seperti
di bumi, melainkan mereka hanya menggunakan kekuatan batin. Batin mereka memerintahkan
naik segera mereka naik, turun langsung turun. Seperti yang telah kami sebut
tadi, bahwa badan mereka bukan terbentuk dari daging darah melainkan dari gas
yang tembus pandang.
Maka mereka kapan saja di mana saja, walaupun terhadang
oleh tembok tebal, tiang emas yang besar, mereka dapat menembusi seolah-olah
bergerak di alam hampa tanpa kesulitan. Walau dalam sebuah ruang sempit yang
kira-kira dapat berisi ratusan orang, lalu ditambah sampai ribuan orang, bahkan
ratusan ribu orang, namun kita yang di dalam ruang tidak merasa terimpit dan
berdesak-desakan.
Dari pagoda Vimala Vipassana
yang amat besar itu, kita dapat memantau planet-planet, bintang-bintang dari
sepuluh penjuru di alam semesta. Misalnya kita ingin melihat bumi kita kemudian
matahari. Mula-mula terlihat bumi hanya sebesar sebutir pasir kecil, namun kemudian
batin kami ingin mengamati keadaan di bumi, andaikata kami ingin melihat keadaan
di benua Asia, maka bagian benua Asia akan membesar sehingga jelas dipandang.
Atau kami ingin lihat keadaan Tiongkok, tembok besar, propinsi Ho Kien, bahkan
sebuah rumah sampai keadaan di dalam rumah, tempat atau benda yang ingin dilihat
akan satu persatu tampil di depan mata.
Seperti ada alat pengatur kaca pembesar
di dalam teleskop yang super otomatis. Pendek kata Pagoda Vimala Vipassana tidak
lain adalah sebuah observatorium untuk memantau seluruh alam semesta, tiada
satu sudut pun yang tidak dapat dijangkau.
Penghuni di Varga Bawah
Tengah, ketika masih hidupnya di bumi, mereka telah banyak berbuat kebaikan,
memupuk akar-akar yang baik dan berkeinginan lahir di Sukhavati Loka. Berkat
kekuatan Pranidhana Buddha Amitabha, mereka ditempatkan di tingkat alam kedua
di Sukhavati Loka.
Varga Bawah Atas adalah
tingkat alam ketiga di Sukhavati Loka, lebih tinggi setingkat dari Varga Bawah
Tengah. Penghuni di Varga Bawah Atas ini, pada masa hidupnya di bumi, mereka
telah menjalankan Pancasila dengan baik, dan tekun menjaga Delapan Larangan,
serta giat melakukan kebaikan, berdana, dan bertindak sangat hati-hati sesuai
dengan Ajaran Sang Buddha.
Sesudah mengelilingi
Varga Bawah, Kuan She Ing Phu Sa mendesak kami pula, agar cepat meninggalkan
Varga Bawah secepat mungkin, karena waktu kami sangat sempit.
NEGERI TERATAI
VARGA TENGAH

Kami meninggalkan Varga
Bawah, segera menuju Varga Tengah. Kami memanjatkan Surangama Dharani. Badanku
terbang melayang seperti pesawat Dalam perjalanan kami melihat pancaran sinar
gemerlapan dari gedung istana, dan puncak lancip pagoda-pagoda dengan kecepatan
yang tinggi terbang berpapasan dengan kami. Badan saya semakin menjadi tinggi
dan besar. Bunga teratai di Varga Tengah besar-besar, sebesar satu propinsi
di Tiongkok kurang lebih 800 li (400 Km) diameternya. Jarak dari Singapore ke
Kuala Lumpur hanya 180 li (90 km) saja.
Maka 800 li kira-kira sama dengan jarak
Singapore ke daerah tengah Thailand. Bunga teratainya begitu besar, maka penghuninya
ikut menyesuaikan dengan keadaan, menjadi sebesar raksasa.
Kuan she Ing Phu Sa berkata,
"Penghuni Varga Tengah kebanyakan asal dari empat kelompok masyarakat (Bhiksu,
Bhiksuni, Upasaka, dan Upasika), maka tingkat kesadaran mereka lebih tinggi
setingkat dari penghuni di Varga Bawah. Mereka pada masa hidup di bumi telah
bertekad berusaha melepaskan belenggu Triloka. Ketika di bumi mereka tidak hanya
rajin melakukan kebaktian, tekun menjalankan Sila Vinaya, disamping itu mereka
sangat bersemangat memajukan pendidikan Buddha Dharma, membangun Vihara, mencetak
buku-buku tentang Ajaran Agama Buddha untuk menyebar luaskan Dharma.
Tindakan
dan tutur kata mereka selalu sesuai dengan hati yang tulus ikhlas, berdasarkan
Catvari Apramani (Empat kebajikan yang tak terhingga yaitu Maitri, Karuna, Mudita,
dan Upheksa) sehingga pada akhir hayat mereka, berkat jasa pahala mereka dan
bantuan trisuci di Sukhavati Loka. Mereka di tempatkan di Varga Tengah. Varga
Tengah seperti Varga Bawahjuga dibagi 3 tingkat, yaitu Varga Tengah Atas, Varga
Tengah-Tengah, Varga Tengah Bawah. Penempatan penghuni di ketiga tingkat itu
menurut tingkat ketekunan mereka bertapa, serta jasa pahala yang mereka pupuk
pada masa hidup di dunia fana.
Tak lama kemudian kami telah
sampai di sebuah Aula Istana yang amat besar, saya segera bernamaskara kepada
Bodhisattva yang berada di Aula. Sesudah dibawah, Kuan She Ing Phu Sa melanjutkan
perjalanan kami, tahu-tahu kami tiba di sebuah kolam teratai. Wah! Alangkah
besar dan indahnya kolam Teratai di Varga Tengah ini ! Dibandingkan dengan yang
di Varga Bawah, entah berapa kali lebih besar, lebih indah, lebih megah dan
lebih agung. Sekeliling tepi kolam bertahtahkan tujuh macam intan manikam, bunga
teratai di dalam kolam luar biasa bagusnya, garis-garis urat setiap kelopak
(mahkota) sangat indah dan halus sekali serta setiap garis berkilauan dengan
warna masing-masing.
Garis-garis yang beraneka warna saling bersilang membentuk
gambar-gambar yang indah dan menarik, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Aneh bin ajaib! Setiap kuntum
bunga teratai terdiri dari entah beberapa sap mahkota dan setiap sap terdiri
entah beberapa mahkota, dalam setiap mahkota yang luas itu terdapat beraneka
ragam bangunan, ada pavilion, teras, gedung bertingkat serta pagoda pagoda tinggi
dan semuanya memancarkan puluhan jenis warna sinar sangat menakjubkan! Para
penghuni di bunga teratai semua berbadan merah emas yang tembus cahaya bagaikan
kristal, serta berkilau kilau oleh pantulan sinar, mereka mengenakan baju seragam
dan mereka semua pemuda berumur kurang lebih 20 tahun, diantaranya tak ada orang
tua atau anak kecil.
Keadaan orang-orang disekeliling
kami mengingatkan saya terhadap badan diriku. Saya terperanjat menengok diriku,
entah kapan keadaan diriku telah berobah bentuk dan tampang mukaku mirip dengan
mereka dan bajuku juga seragam sama dengan mereka, Cuma Kwan She Ing Phu Sat
yang tetap seperti keadaan semula.
Saya bertanya kepada Beliau,
"Mengapa semua benda, orang di sini bersinar sesuai dengan warna cahaya
masing-masing. Dan mengapa badanku juga berobah menjadi seperti mereka?"
Beliau menjelaskan, "Hal
ini semuanya oleh karena Abhijina (kekuatan sakti) Sang Buddha Amitabha, sehingga
semua benda makhluk di sini berkilau terpantul sinar Sang Amitabha yang tak
terbatas. Dan kekuatan Abhijna Beliau merobah bentuk warna benda-benda, makhluk-makhluk
di sini termasuk Anda dan mereka. Kecuali bila anda telah mempunyai kekuatan
Abhijna pada dirimu, Anda dapat mempertahankan ciri khas kepribadianmu."
Di Varga Tengah kadang-kadang
juga mempunyai gedung bertingkat yang agak suram, ini hanya suatu pemandangan
delusi yang sementara jikalau si penghuni tiba-tiba mengigat keluarganya pada
masa hidupnya di dunia fana. Kuan She Ing Phu Sa mengajak saya masuk ke sebuah
gedung yang suram. Sekitar gedung itu dikelilingi taman bunga yang luas dan
indah, ratusan bunga berkembang seolah-olah berlomba memamerkan keindahannya,
burung-burung berkicau serta melompat dari dahan ke dahan, pemandangan taman
demikian tidak beda dengan rumah mewah seorang yang kaya raya di dunia fana.
Semua keluarganya sangat bertakwa kepada Triratna, di ruang tamu mereka terpampang
altar yang indah dan rupang Trisuci adalah pujaan mereka. Ibu, bapak, istri,
saudara, anak famili dan sebagainya semua berkumpul di ruang tamu yang luas
itu. Mereka bersama-sama mengadakan kebaktian, membaca Sutra, menyebut-nyebut
nama Sang Buddha. Laki perempuan, tua muda semuanya berjumlah lebih dari 20
orang.
Kuan She Ing Phu Sa bercerita,
"Keluarga ini pada masa hidup di dunia fana, berkelakuan baik, suka berdana,
menghayati Catvari Apramani yaitu Maitri, Karuna, Mudita, dan Upekkha. Antara
mereka ada yang lahir di Varga Tengah, namun pertalian kasih sayang dengan keluarganya
belum putus sama sekali, maka bayangan keluarga besarnya kadang-kadang terpantul
di layar batinnya."
Menurut Kuan She Ing Phu
Sa bahwa Sukhavati Loka terbagi tiga Varga dan setiap Varga terbagi lagi tiga
tingkatan, maka jumlah semuanya 9 tingkat, penghuni-penghuni di Varga Bawah-Bawah
dapat meningkat setingkat lebih tinggi dari Varga Bawah Tengah, melalui meditasi
yang tekun, naik setingkat demi setingkat, bunga teratai yang dimilikinya di
Varga Bawah Tengah bagaikan kendaraan dapat dipindahkan ke Varga Bawah Tengah.
Peristiwa demikian seperti terjadi dalam Samadhi dari Dhayana pertama masuk
ke Dhyana kedua, masuk ke Dhyana ketiga, terakhir sampai masuk ke Dhyana keempat,
setahap demi setahap terakhir sampai pada Varga Atas Atas tidak perlu melompat
lagi.
Tiba-tiba terdengar suara
genta, bergema di angkasa, dengan sekejap mata, semua gedung, taman yang indah
tadi lenyap tanpa bekas. Mereka memakai baju seragam. Jumlah orang makin lama
makin banyak, sehingga tidak terhitung banyaknya memenuhi lapangan yang besar
dan luas sekali.
Kuan She Ing Phu Sa memberitahu
saya, "Hari ini Bodhisattva Mahasthamaprapta dan Bodhisattva Nityadukta
akan memberikan khotbah tentang Sutra Sad Dharma Pundarika, maukah anda ikut
mendengarkannya?"
"Saya paling gemar
mendengar khotbah yang bertema Sad Dharma Pundarika, mari kita segera ke sana
!" saya menjawab dengan gembira.
Sambil berbincang, kami
telah sampai di podium. Di sekitar podium dikurung oleh jala-jala berkilau-kilau
seperti ribuan pelangi silang menyilang melengkungi podium. Beribu-ribu mata
jala bagaikan mutiara-mutiara warna-warni menghiasi sekitar podium yang tingginya
puluhan meter terbuat dari emas, perak bertahtahkan denga tujuh jenis intan
permata, luar biasa agung dan megah. Di dua sisi podium terdapat jajaran pohon
besar setinggi pencakar langit di Amerika. Setiap dahan pohon terdapat bangunan
teras pavilion, gedung bertingkat, dan lain sebagainya, di mana banyak Bodhisattva-
Bodhisattva berkumpul menanti khotbah.
Kuan She Ing Phu Sat membawa
saya naik ke podium, dan memperkenalkan saya kepada Bodhisattva Mahastamaprapta
dan Bodhisattva Nityadyukta. Saya segera bersujud kepada mereka. Beliau mempersilahkan
saya duduk dibaris samping podium. Saat ini asap wewangian entah dari mana berluik-liuk
naik ke atas, harum dan segar sekali. Alunan musik kayangan yang merdu datang
dari angkasa jauh. Banyak burung-burung cantik mungil beterbangan, menari-nari
naik turun mengikuti tinggi rendah nada irama musik. Setelah saling memberi
salam Bodhisattva Mahastamaprapta berdiri mengumumkan perjamuan dibuka dan khotbah
dimulai.
Bodhisattva Nityadyukta
memulai khotbahnya, :"Sutra Sad Dharma Pundarika Sutra adalah akar dan
sumber dari semua Buddha di Negeri teratai, adalah pedoman dan dasar untuk mencapai
ke-Buddha-an. Setiap insan yang bercita-cita mencapai Samyaksambodhi harus membaca
Sutra ini. Pada pertemuan lalu telah saya jelaskan tentang 'Apakah Saddharma
Pundarika itu?" Sad Dharma Pundarika Sutra suatu harta kekayaan yang tak
ternilai harganya. Dan hari ini akan saya uraikan tentang fungsi-fungsinya.."
Uraian Beliau hampir 1 jam lamanya.
Setelah saya mendengar kata-kata
yang Beliau kutip dari Sutra Sad Dharma Pundarika berbeda dengan Sutra Sad Dharma
Pundarika Sutra yang saya baca di dunia fana, saya lalu bertanya kepada Kuan
She Ing Phu Sa mengenai keraguanku. Beliau menjelaskan, "Sutra Sad Dharma
Pundarika sutra di bumi mienggunakan kata-kata dan contoh-contoh yang mudah
dimengerti oleh orang di bumi, sedangkan sutra Sad Dharma Pundarika di sini
lebih mendalam, namun bagi penghuni Sukhavati Loka yang pengetahuannya lebih
luas malahan lebih mudah dipahami. Biarpun penggunaan kata-kata berbeda-beda,
namun arti yang terkandung sama.
Hal ini sama dengan Alam Dewa yang tidak mengerti
Alam Arahat, Arahat tidak mengerti Alam Bodhisattva, dan Bodhisattva tidak memahami
alam Buddha. Anda tadi mendengarkan uraian Bodhisattva Nityadyukta, Beliau mengucapkan
dengan satu bahasa saja, namun beribu-ribu bangsa dari manca negara mendengar
dan memahami seperti bahasa mereka masing-masing. Inilah yang disebut Dharani/dharani
Samaya."
Seusai khotbah, terjadilah
suatu peristiwa yang tidak dapat dibayangkan oleh orang bumi. Saat ini banyak
benda-benda aneh berguguran dari angkasa bagaikan hujan. Bunga-bunga warna-warni
beraneka ragam serta macam-macam intan permata berkilau-kilau menggores angkasa
bagaikan kembang api memancarkan beribu-ribu sinar beraneka warna yang menakjubkan.
Para hadirin yang di bawah podium hampir semuanya mengulurkan tangannya atau
mengangkat ujung bajunya untuk menadahi bunga atau benda yang jatuh itu. Kemudian
terdengar alunan musik yang merdu hening entah dari mana.
Tiba-tiba para hadirin
di bawah podium yang semuanya terdiri dari pemuda laki-laki berbaju merah dengan
serentak menjelma menjadi pemudi-pemudi mengenakan blus hijau dan rok merah,
pada pinggangnya diikat pita (sabuk) kuning emas, mereka melompat-lompat, menari-nari
dengan riang gembira. Dengan sekejap mata mereka menghilang dan sekonyong-konyong
lapangan yang penuh dengan gadis cantik menjelma menjadi taman bunga yang penuh
dengan bunga teratai yang subur dan bulat-bulat, masing-masing memancarkan sinar
berwarna indah sesuai dengan warna masing-masing.
Beratus ribu bunga teratai
beraneka warna berkilau-kilau memantulkan cahaya masing-masing yang mengagumkan
bagaikan ombak-ombak panca warna di lautan luas. Tiba-tiba di atas setiap bunga
teratai muncul seorang Bodhisattva bersila dengan tenang dan agung sekali. Dengan
tidak terduga pula taman teratai dengan serentak menjadi rimba pagoda, pagoda
emas, pagoda perak, dan warna-warna lainnya yang tidak terhitung banyaknya.
Setiap pagoda memancarkan sinar ke empat penjuru sesuai dengan warna masing-masing.
Pemandangan yang demikian indah menakjubkan mempesona sungguh tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata.
Ketika saya sedang terpaku
pada pertunjukan yang luar biasa itu, sekonyong-konyong beratus-ratus gadis
berbaju hijau muncul dari angkasa melayang dengan cepat lalu menukik menuju
gedung aula menembus atap, menerobos dinding dan pilar seolah-olah melayang
di udara bebas tanpa halangan. Saya terkejut sekali dan bertanya kepada Kuan
She Ing Phu Sa.
Beliau menjelaskan, "Sukhavati
Loka adalah penjelmaan kekuatan Abijna Sang Buddha Amitabha, maka makhluk, benda,
gedung, teras, pavilion, istana, pagoda maupun sungai, gunung, bunga rumput,
pepohonan semuanya seperti kristal yang tembus cahaya, dan tiada satupun bersifat
materi. Karena itulah mereka dapat menembusnya sebebasnya tanpa halangan, sekarang
silakan anda coba sendiri."
Mengikuti sarannya, saya
mencoba menancapkan tanganku pada dinding pilar, semuanya dapat kutembusi dengan
mudah, Tangan, kaki dan Badanku dapat menembus masuk keluar dengan bebas, tetapi
bila diraba dengan tangan, semua benda, bangunan seolah-olah barang nyata dan
padat seperti benda-benda di bumi. Saat kita berniat menerobosnya maka kita
dapat sesuka hati menerobosinya.
Selanjutnya Kuan
She Ing Phu Sa membawa saya meninjau kedua tempat yang ajaib, yaitu Gunung Delapan
Pemandangan Besar dan Pusat Pameran Dunia teratai.
GUNUNG DELAPAN
PEMANDANGAN BESAR

Penghuni Varga Tengah Bawah pada umumnya masih mempunyai delusi sedikit namun
sebagian kecil sudah bersih dari delusi. Tampang mereka rata-rata sama dan usianya
antara 16 tahun sampai 20 tahun. Mereka berpakaian seragam, tak ada perbedaan
jenis kelamin (bukan laki-laki dan juga bukan perempuan). Kegiatan harian mereka
kebanyakan berkumpul melakukan puja bhakti bersama, menyani menari bersama, mereka
suka hidup berkelompok. Bunga teratai di sana dibandingkan dengan yang di Varga
Bawah jauh lebih besar, lebih super, sap (kelopak) nya lebih banyak, warnanya
juga lebih banyak dan sinar-sinarnya lebih cemerlang.
Di sini terdapat sebuah
gunung ajaib yang disebut "Gunung Delapan Pemandangan Besar", delapan
pemandangan tersebut melambangkan Parijana (8 indra, konsepsi, pencerapan) yaitu:
1. Caksur Vijnana : Indera
penglihatan/mata
2. Srotra Vijnana : Indera pendengaran/telinga
3. Ghrana Vijnana: Indera Penciuman/hidung
4. Jihva Vijnana: Indera Rasa / lidah
5. Kaya Vijnana: Indera Penyentuhan / badan
6. Mano Vijnana : Indera pengertian/perasaan hati atau paham
7. Klisa-Mano Vijnana : Indera Diskriminasi/akal, pertimbangan, pembadingan,
pembeda, serta kalkulasi.
8. Alaya Vijnana : Indera pengingatan.
Gunung 8 Pemandangan Besar ini didirikan oleh Buddha Amitabha khusus untuk mendeteksi,
mengukur sisa-sisa delusi atau karma yang masih tertinggal di 8 Vijnana bagi
pendatang baru di Varga Tengah Bawah. Penghuni di sini harus bertapa terus menerus
sehingga tercapai sunyata (kosong,tanpa kilesa, tanpa delusi).
Pemandangan pertama disebut
Dunia Sinar Terang yang melambangkan Caksur Vijnana (Indera Penglihatan) kita,
di dalam alam pemandangan ini, kita dapat melihat dengan mata telanjang segala
sesuatu yang terjadi di seluruh penjuru. Misalnya kita ingin melihat riwayat
seseorang di dunia fana, tentang keadaannya pada kelahiran yang lalu, atau beberapa
kelahiran yang lampau, dengan sekejab mata kita akan tampak suatu kejadian si
anu pada beberapa kelahiran yang lalu ia adalah seekor babi, kemudian bertumimbal
lahir menjadi pembantu, tumimbal lahir lagi menjadi orang kaya, sampai menjadi
jendral, menteri atau raja... , semuanya tampil ke depan mata kita satu per
satu seperti film serial. Bahkan keadaan tanah suci, Buddha Ksetra, alam dewa
dan lain-lainnya semuanya dapat dipantau di sini.
Pemandangan kedua disebut "Dunia Suara Gema" yang melambangkan Srotra
Vijnana (Indera Pendengaran) kita, dari alam kita dapat mendengar segala suara
dari dunia di sepuluh penjuru. Di sini pendengaran kita menjadi sangat peka,
suara dari jauh, suara semut pun dapat kita dengar dengan jelas, bahkan suara
yang bising dan campuran dari beberapa suara dapat kita beda-bedakan terdiri
dari suara apa saja. Kita pun dapat mendengar Sang Buddha sedang berkotbah di
tempat jauh, sekarang Beliau sedang menguraikan Sutra apa?.. di bab apa?...
kalimat apa? ... suaranya, intonasinya sangat jelas sehingga artinya dapat dimengerti
dengan jelas.
Pemandangan ketiga disebut
Dunia Harum Semerbak yang melambangkan Ghrana Vijnana (Indera Penciuman) kita,
di dunia ini hidung kita menjadi sangat peka sekali, segala aroma bau setelah
kita cium dengan hidung, kita segera dapat mengetahui beberapa wewangian yang
terkandung di dalam bau itu. Misalnya dari bau wanita hamil, kita segera dapat
mengetahui bayi di dalam kandungan itu bakal laki-laki atau perempuan. Dengan
mencium sebatang logam aloi kita dapat mengetahui logam tersebut campuran emas,
perak, besi, aluminium, dan lain-lain.
Pemandangan keempat disebut
'Dunia suara Kecap' yang melambangkan Jihva Vijnana (Indera Lidah), segala suara
ataupun bahasa yang keluar dari mulut makhluk-makhluk di sepuluh penjuru, dari
Buddha Dhatu sampai dengan Niraya Dhatu (neraka), dapat kita dengar dan mengerti
dengan jelas.
Pemandangan kelima disebut
'Dunia Tubuh Emas' yang melambangkan Kaya Vijnana (Indera Penyentuhan), di dunia
ini indera penyentuhan kita luar biasa pekanya, kita dapat membedakan segala
sesuatu dengan menyentuh saja kita dapat mengetahui bentuk warna benda tersebut
dengan jelas seolah-olah kita lihat dengan mata. Dengan rasa sentuh kita dapat
merasakan beradanya para Buddha Bodhisattva di Buddha Ksetra di Sepuluh Penjuru.
Misalnya Dvatrimsa (Tiga puluh dua bentuk) penjelmaan Kuan She Ing Phu Sat dapat
kita lihat dengan indera penyentuhan.
Pemandangan keenam disebut
'Dunia Batin' yang melambangkan Kaya Vijnana (Indera Pengertian, Kesadaran),
di dunia ini kita dapat membatin, mengetahui jalan pertapaan para Buddha di
segala penjuru, dari masa manusia mereka, sampai mencapai Ke-Buddha-annya. Semua
peristiwa Beliau tampil di alam batin kita, dan kami dapat mengetahui dengan
jelas riwayat tumimbal lahir Beliau sampai beribu-ribu kali seperti gambar bioskop
tampil di layar batin kita.
Pemandangan kedelapan,
disebut 'Dunia Luas Tanpa Batas' yang melambangkan Alaya Vijnana (Indera Pengingat),
alam ini luas mencakup ruang dan waktu yang tak terbatas. Segala peristiwa yang
terjadi di tri kurun waktu, di sepuluh penjuru dharmadatu, tidak ada sesuatupun
yang tak dapat dilihat, diketahui.
PUSAT PAMERAN
NEGERI TERATAI

Pada umumnya, penghuni-penghuni di Varga Tengah-Tengah, pada masa hidupnya di
dunia fana, mereka cukup mengerti Dharma, selalu menghayati dan mengamalkan Dharma.
Mereka tekun bertapa, rajin menjalankan kebaktian, serta berdana tanpa pamrih,
maka mereka telah menanam bibit baik di Varga Tengah-Tengah, serta memupuk akar
baiknya (Kusala Mula) dengan baik sehingga bunga teratainya bertumbuh dengan subur.
Pendeknya, penghuni di Varga Tengah-Tengah baik dalam penghayatan ajaran Buddha,
melakukan meditasi maupun dalam menjalankan pengamalan lebih maju dan rajin dari
penghuni di Varga Bawah.
Di alam ini, gedung, pagoda,
dan bangunan lainnya lebih banyak , lebih besar, dan lebih tinggi, serta lebih
indah dan megah dari yang di Varga Bawah. Di sini setiap hari turun hujan bunga,
dan penghuninya setiap hari memungut bunga-bunga yang indah itu untuk mempersembahkan
kepada Para Buddha di Seluruh Penjuru. Bunga-bunga yang harum dan cantik itu
entah berapa ribu kali lebih indah dari bunga-bunga di bumi.
Alunan musik merdu,
halus dan sentimental datang dari langit sungguh sulit melukiskan keindahan
dengan kata-kata. Saya kutip beberapa kalimat dari Sutra sebagai berikut, saya
kira paling sesuai dengan keadaan yang sebenarnnya, "Beribu-ribu jenis
musik istana di dunia fana, tak dapat menandingi satu nada yang ada di Kerajan
Pemutar Roda Dharma. Beribu-ribu jenis musik di Alam Dewa Travastrimsa, tidak
dapat menandingi satu nada musik dari Alam Dewa Mahasvara, dan beribu-ribu jenis
musik di Alam Dewa Mahasvara, tidak dapat menandingi satu nada musik dari tujuh
baris jajaran pohon ajaib di Sukhavati Loka!"
Tubuh penghuni di Varga
Tengah-tengah bagaikan kristal berwarna merah emas yang memancarkan sinar kemerah-emasan
pula. Mereka dapat mendatangi setiap Ksetra Buddha melakukan kebaktian kepada
Para Buddha di sepuluh penjuru dengan sekejap mata saja. Dan kembali ketempat
asalnya dengan sekejab mata pula. Andaikan pada masa hidupnya di dunia fana,
tidak berbuat kebajikan, menimbun banyak jasa pahala, tidak mungkin mereka dapat
lahir di alam yang sangat indah ini.
Mereka yang memperoleh pahala
lahir di Varga Tengah-Tengah, boleh dikatakan delusi mereka hampir tidak ada.
Dan selera makan mereka kecil sekali, tidak seperti mereka yang berada di Varga
Tengah Bawah, mereka masih sering berkeinginan makan, makanan mereka adalah
kue yang terbuat dari madu bunga. Jika meditasi mereka makin meningkat, makin
kecil kebutuhan mereka terhadap makanan.
Di Varga Tengah-Tengah terdapat
Pusat Pameran Negeri-Negeri Teratai yang memamerkan aneka cara Para Buddha menjalankan
pertapaan mereka untuk mencapai ke-Buddha-an.
Gedung pusat pameran
tersebut bertingkat-tingkat, setiap tingkat menampilkan riwayat perjuangan salah
satu Buddha, mulai dari masa manusianya sampai beliau mencapai ke-Buddha-an.
Misalnya di salah satu tingkat yang menampilkan riwayat Sang Buddha Amitabha,
mulai dari masa hidupnya di dunia fana Beliau masih bernama Bhiksu Dharmakara
dan Beliau berguru pada Lokesvararaja Tathagata.
Saat itu pintu dharma mana yang beliau tekuni, dan Pranidhana apakah yang diikrarkan,
semuanya dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri peristiwa yang sesungguhnya.
Bahkan kita dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa sekian ribu kali tumimbal
lahir sebelum Beliau mencapai ke-Buddha-an, bila kita inginkan. Jika kita pergi
ke lain tingkat kita dapat lihat riwayat hidup Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan
She Ing Phu Sa) pada setiap tumimbal lahirnya, serta bagaimana perjuangan-Nya
untuk mencapai penerangan. Kita dapat menelusuri riwayat Buddha Sakyamuni, Buddha
Bhaisajya, Buddha Samanthabhadra, Buddha Manjusri, dan lain sebagainya. Pada
pokoknya di pusat pameran tersebut bagaikan ensiklopedi riwayat hidup yang lengkap
dan terperinci para Buddha dan Bodhisattva, bahkan serba otomatis dan visualis.
NEGERI TERATAI
VARGA ATAS BILA BUNGA BERKEMBANG MEKAR, BERJUMPALAH DENGAN BUDDHA

Meninggalkan Varga Tengah,
kami memanjatkan mantra "Surangama Dharani", Bunga teratai yang kami
kendarai terbang kencang ke atas, badanku terasa makin membesar sampai sebesar
ketika bertemu dengan Sang Buddha Amitabha.
Kuan She Ing Phu Sa menjelaskan,
"Penghuni Varga Atas Atas pada masa hidupnya di dunia fana, mereka rajin
bertapa, tekun menjalankan Sila Vinaja bersih suci bagaikan mutiara putih tanpa
noda. Mereka memperdalam Ajaran Buddha, menjauhi/memutuskan Sepuluh Perbuatan
Jahat, dan melakukan/mengembangkan Sepuluh Perbuatan Baik, mentaati petunjuk-petunjuk
Pintu Dharma yang mereka anut, dan menyelaminya satu demi satu secara lahiriah
maupun batiniah maju terus pantang mundur, sepuluh tahun bagaikan sehari, sehingga
akhir hayatnya ditambah pula mereka banyak melakukan kebaikan yang terbentuk/nyata,
misalnya berdana, menolong orang sakit, miskin, derita, dan lain sebagainya
telah menanam banyak jasa pahala. Maka pada saat mereka melepaskan napas terakhirnya,
bunga teratainya telah tumbuh dengan subur di Varga Atas dan segera berpenjelmaan
teratai di sana.
Mereka yang di Varga Atas
boleh dikatakan telah bersih dari polusi duniawi tanpa ternoda oleh delusi karma-karma
seperti di Varga Tengah dan Varga Bawah. Mereka telah membersihkan Enam Debu
Indra, telah mencapai Alam Bodhisattva, dapat menjelma sesuka hati, dan dapat
memperagakan Abbijna (kesaktian) dengan terampil. Para Bodhisattva berkumpul,
mereka bisa bermain sesuka hati, ingin menjadi bunga, mereka semua menjadi bunga,
menjadi pagoda, batu, pohon dan semuanay menjadi pagoda, batu, dan pohon.
Selanjutnya Kuan She Ing
Phu Sa mengajak saya berkunjung ke kolam teratai. Kolam bunga Teratai di Varga
Atas, betul-betul istimewa, luar biasa. Tepi-tepi kolam lebih bagus, lebih megah
dari yang di Varga lainnya, dikelilingi baris-baris teratai yang segar semerbak
di sekitar kolam yang menyejukkan hati. Pagoda-pagoda besar berdiri di tengah-tengah
kolam bagaikan gunung menjulang tinggi, pagoda-pagoda tesebut berbentuk poligon
memancarkan berjuta-juta sinar aneka warna. Di antara pagoda-pagoda dihubungi
dengan jembatan-jembatan yang unik dan cantik sekali. Entah berapa luas kolam
tersebut, bagaikan lautan yang tak dapat melihat ujung seberangnya.
Di dalam
kolam tidak hanya dihiasi berjuta-juta bunga teratai yang indah dan segar, juga
dibayangi jutaan pemandangan indah. Di angkasa dipenuhi kanopi-kanopi Ratna
yang bertatahkan beraneka macam intan permata berkilau. Setiap kuntum bunga
teratai mempunyai mahkota (kelopak) bersap-sap yang tak terhitung banyaknya.
Setiap sap mahkota mempunyai bangunan pagoda, teras veranda bertingkat dan lain
sebagainya semuanya indah dan megah menakjubkan. Penghuni di sini semuanya berbadan
kuning emas kristal, mengenakan baju anggun sekali yang dapat memancarkan sinar
beraneka warna.
Tiba-tiba Kuan She Ing Phu
Sa berkata, "Di sini ada seorang penghuni Bhiksu Yin Kwang (salah satu
dari tiga Bhiksu agung tersohor di Tiongkok pada abad ke-20), apakah anda mengenal
Beliau?"
"Di manakah Beliau
sekarang? Sudah lama saya dengar nama besarnya, namun belum pernah menjumpainya."
Kujawab dengan spontan.
Seusai perkataanku, segera
muncul seorang pemuda berumur sekitar 30 tahun di depan kami, dan sekonyong-konyong
beliau berubah menjadi seorang Bhiksu Tua, bentuk asal Bhiksu Yin Kwang ketika
di dunia fana. Kami bertemu dengan suasana yang sangat hangat dan gembira, seolah-olah
reuni dua sobat lama yang sudah lama berpisah. Kami saling memberi salam hormat
dengan beranjali, beramah-tamah mesra akrab sekali. Dengan mempercakapkan masalah-masalah
di dunia fana, khususnya mengenai Agama Buddha di Tiongkok. Namun sayang, saya
tidak dapat ingat pembicaraanya seutuhnya, ada sebagian telah lupa.
Beliau berulang-ulang
berpesan "Saya harap sesudah anda pulang ke dunia fana, tolong sampaikan
pesanku kepada saudara-saudara se-Dharma, bahwa Sila Vinaya adalah sokoguru,
guru sejati bagi para pengamal Dharma, para petapa. Jalankanlah dengan sungguh-sungguh
Sila Vinaya, menghayati sutra setiap hari, memanjatkan nama Sang Buddha dengan
tulus ikhlas apabila mempunyai waktu luang, selalu mengingat Sang Buddha setiap
tindakannya. Sraddha (berkeyakinan) , Pranidhana (berikrar melakukan kebajikan),
dan Samsakara (melaksanakan) adalah tiga persyaratan mutlak penting bagaikan
tiga mata rantai untuk mencapai penerangan, jika mereka menjalankan 3 persyaratan
itu dengan konsekuen, mereka pasti dapat lahir di Sukhavati loka..., janganlah
cepat menyombongkan diri setelah memperoleh sedikit kenamaan, mengira dirinya
sudah lebih pandai dari orang lain, lalu merubah-rubah Sila Vinaya yang ditentukan
Buddha Sakyamuni dan para Sesepuh Agama Buddha dengan sesuka hati. Jaman sekarang
banyak orang suka merubah Vinaya dengan dalil 'pembaharuan', 'modernisasi',
hanya untuk mencari kepoluleran, hal-hal demikian sungguh menyedihkan!"
Sepanjang perjalanan kami
menuju istana besar bertingkat, kami berjumpa beraneka jenis burung yang langka
beterbangan dan berkicau di dahan-dahan pohon emas berdaun 'jade (giok)'. Kicauan
burung, panjatan mantra serta nyanyian pujian menjalin menjadi perpaduan suara
yang merdu. Di mana-mana ada bunga-bunga bulat yang bertumbuh subur, wewangi
bunga segar menyemerbakkan setiap partikel udara, lentera-lentera mutiara, koral,
kristal yang beraneka warna berbaris-baris, berjajar-jajar, memancarkan sinar
macam-macam warna, sehingga mataku tak keburu menikmati keindahannya.
Di dalam istana dihiasi,
didekorasi dengan luar biasa megahnya membuat kami terpukau sejenak. Pilar,
dinding, pintu, jendela, lantai, dan langit-langit semuanya menyilaukan warna
emas, perak, mutiara, koral, safir, dan lain sebagainya. Setiap benda di dalam
aula istana memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing. Khususnya lantai
dan langit-langit memantulkan sinar benda lain menjadi berwarna-warni yang indah
semarak. Saya mengikuti Kuan She Ing Phu Sa naik ke tingkat atas, di salah satu
ruangan tersimpan banyak jenis cermin kristal dan bermacam-macam bentuk ada
yang besar, ada yang yang kecil. Di antara cermin-cermin tersebut terdapat sebuah
cermin yang paling unik, paling besar dan menonjol.
Kuan She Ing Phu Sa memberitahukan,
"Cermin ini lain dari pada yang lain, dapat mencerminkan Jati Diri setiap
orang yang berdiri di depannya. Bersih atau tidaknya jati diri seseorang tidak
bisa luput dari sorotan tajam dari cermin ini. Dengan kata lain, ternoda atau
tidaknya jati diri seseorang akan terlihat jelas di dalam cermin ini."
Di kedua sisi ruang ini
terdapat dua baris kursi yang terbuat dari 7 macam intan manikam yang berkilau-kilau,
dan berjajar dengan rapi sekali. Di atas sebuah meja terletak barang aneh yang
tak tahu apa gerangan barang itu. Kuan She Ing Phu Sa seolah-olah tahu saya
sedang lapar dan menawarkan, "Laparkah Anda?" "Ya, tetapi disini
ada apa yang dapat dimakan?" saya jawab dengan spontan, karena saya betul-betul
sudah lapar." Makanan disini sama dengan apa yang ada di Varga Bawah dan
Varga Tengah. Apa yang anda sedang inginkan akan segera tersajikan (secara otomatis)
!" kata Kuan She Ing Phu Sa. "Bagus sekali, saya minta nasi putih
dan sup sayur putih saja, lain tidak!" perkataanku belum selesai, hidangan
nasi putih dan sup sayur putih telah terletak di atas meja. Saya menawarkan
kepada Beliau, "Mari kita makan bersama-sama!" Beliau menjawab, "Kami
disini (penghuni Varga Atas), pada umumnya, tidak makan, silahkan anda makan
sendirian."
Kebanyakan penghuni Varga
Atas Atas, mereka telah mencapai ke-Bodhisattva-an, dan telah berkurang sekali
gairah makannya, atau sama sekali tidak ada nafsu makan. Karena mereka sudah
tanpa delusi, sudah bersih dari kebiasaan duniawi. Membandingkan diri dengan
mereka, saya merasa malu, namun saya tetap makan sampai kenyang. Selesai makan
saya letakkan mangkok dan sumpit di atas meja, dengan sekejap mata mangkok,
piring, sendok, dan sumpit semuanya hilang tanpa bekas. Saya ternganga melihat
kejadian tersebut "Mengapa Demikiran?" tanyaku.
Kuan She Ing Phu Sa menjelaskan,
"Hal ini disebabkan delusi hidup sehari-harimu di dunia fana membuat anda
merasa lapar dan ingin makan. Dan seperti anda sedang bermimpi merasa peristiwa
itu serba nyata dan ada sungguh-sungguh, kemudian anda bangun dari mimpi dengan
segera semuanya lenyap tanpa bekas. Waktu anda berangan-angan makan, maka makanan
segera datang. Sesudah kenyang, angan-anganmu terhadap makanan hilang, maka
semua makanan serta alat-alatnya ikut hilang juga!"
Saya mengangguk-anggukkan
kepalaku menyatakan telah mengerti. Beliau menegaskan pula, "Jika jati
dirimu bersih, tentu tidak ingin makan, tidak ingin sesuatu yang duniawi. Seperti
ruang hampa tanpa sesuatu. Jika angan-angan timbul bagaikan angkasa kosong bersih
mulai berkabut dan bermega. Renungkanlah perumpamaan ini, lambat laun anda akan
mengerti dan akan bermanfaat bagi anda mencapai penerangan."
Mereka yang lahir di Varga
Atas-Atas telah meninggalkan semua delusi karma di dunia fana, telah mencapai
pahala ke-Bodhisattvaan yang tidak akan mundur lagi. Apa mereka sekarang yang
mengalami adalah alam hakiki. Dengan selintas saja, mereka atas bantuan kekuatan
Purva-Parinidhana Sang Amitabha dapat memperoleh bunga-bunga indah, buah-buahan
segar, dan sesajian yang lain menurut keikhlasan hatinya untuk dipersembahkan
kepada Para Buddha di sepuluh penjuru. Jika pada saat khotbah tiba, dengan serentak,
beribu-ribu juta Bodhisattva hadir di Aula, ada yang duduk di atas bunga teratai,
ada di ruang atas aula istana, ada yang di beranda, di pagoda, di atas pohon
yang tujuh baris berjajar-jajar, mereka mendengarkan Buddha Amitaba berkotbah,
tanpa ada satu yang meninggalkan tempat mereka.
Saya bertanya kepada Kuan
She Ing Phu Sa, "Mereka yang lahir di Sukhavati Loka pasti banyak berasal
dari dunia fana (Saha Loka), mengapa saya tidak melihat mereka bersama dengan
sanak keluarganya?"
Beliau menjelaskan , "Dalam
sekeluarga jarang terdapat dua orang atau lebih yang bersamaan lahir di Sukhavati
Loka, karena tingkat kesadaran mereka berbeda masing-masing. Orang dunia fana
kebanyakan terselubung oleh delusi karma atau polusi yang tebal sekali, sehingga
mereka sangat sulit melihat keadaan yang hakiki/sejati. Jika mereka memusatkan
pikirannya, rajin menyebut, mengingat, nama Sang Buddha dengan ikhlas, maka
delusi/polusi mereka akan kurang atau bersih, dan hati mereka akan bersih tanpa
noda bagaikan angkasa terang hampa, dengan demikian mereka yang di dunia fana
juga dapat melihat Sukhavati loka dengan jelas."
Dengan kesempatan ini, saya
mohon petunjuk Beliau, "Cara bagaimanakah yang paling baik dan tepat guna
untuk memanjatkan mantra dan doa?"
"Bertapa (pembersihan
karma buruk/ delusi) dan Samadhi harus dilakukan berdampingan. Yaitu disamping
menyebut/mengingat Buddha, kita harus selalu mengintrospeksi diri, inilah yang
disebut "Dhyana Tanah Suci."
"Tolong jelaskan bagaimana
cara melakukan Dhyana Tanah Suci tersebut." mohonku.
Demikian petunjuk Beliau,
"Siswa-siswa yang melakukan kebaktian bersama boleh dibagi menjadi dua
kelompok (menurut tata cara sekte Liturgi/Tanah Suci). Kelompok A dan kelompok
B bergilir memanjatkan mantra dan doa. Misalkan sesudah Kelompok A memanjatkan
kalimat 'Namo Amitahaya' dua kali, kemudian kelompok B meneruskan dua kali.
Dan kelompok A yang sedang menunggu giliran mendengar dengan seksama, melafalkan,
dan menghayati dalam hati. Sebaliknya bila Kelompok B sedang menunggu giliran
juga melakukan hal yang sama, Dengan demikian memperoleh dua manfaat, kesatu
dapat mengurangi kelelahan, kedua suara mantra berkumandang terus tanpa terputus-putus.
Lagi pula pendengaran telinga kita akan dilatih menjadi lebih peka, telinga
kita mendengar, sama dengan hati kita ikut membaca, menghayati. Melakukan pembersihan
karma ucapan, sekaligus pembersihan karma pikiran, lambat laun jati diri/ sifat
ke-Buddha-an kita akan timbul. Hening akan melahirkan ketenangan, dan ketenangan
akan melahirkan kebijaksanaan."
"Waktu tidak banyak
lagi, mari kita ke Pagoda Amitabha/Pagoda Teratai." desak Kuan She Ing
Phu Sa.
Kita terbang melewati beberapa
bangunan bertingkat, dan beberapa pucuk lancip pagoda. Tak lama kemudian, kita
telah tiba di kaki sebuah pagoda raksasa yang luar bisasa besarnya, berdiri
dengan perkasa di depan kita, bagaikan gunung Kun Lun di Tiongkok yang tinggi
dan besar. Pagoda ini entah ada beberapa ribu tingkat (diperkirakan paling sedikit
ada beberapa puluh ribu tingkat), dan berbentuk poligon yang entah ada berapa
sudut/ sisinya, seluruh pagoda tembus cahaya bagaikan kristal berwarna kuning
emas yang memancarkan berjuta sinar cahaya emas. Dari dalam pagoda tersiar suara
redup nyanyian 'Namo Amitabha'. Dua bait dari awal seolah-olah memohon pertolongannya,
dan bait yang kedua dengan suara lantang dan semangat, namun intim dan penuh
kasih sayang.
Pagoda Teratai tersebut
adalah tempat tamasya (bermain) khusus bagi beribu juta penghuni Varga Atas
Tengah. Pagoda sangat besar, besarnya tidak dapat dibayangkan oleh orang bumi,
katanya ada beberapa ribu kali besar dari bumi, maka tingginya juga tidak dapat
dibayangkan. Di dalam pagoda terdapat macam-macam istana, masing-masing mempunyai
warna tersendiri dan memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing, semuanya
tembus cahaya. Penghuni Varga Atas Tengah yang bertamasya ke sini dapat menerobos
dinding dengan bebas keluar masuk istana, tanpa sedikit hampatan pun. Naik turun
lantai tingkatan pun mereka menerobos lantai dengan sebebas-bebasnya.
Mereka
dapat bergerak sesuka hatinya, hati ingin naik segera naik, hati ingin turun
ke bawah, segera turun ke bawah. Niat hati mereka yang memegang kendali segala
gerak-geriknya. Asal ada selintas angan-angan di hati mereka, mereka segera
mencapai pada tujuan walaupun tempatnya jauh tak terbayangkan. Di dalam pagoda
teratai boleh dikata serba ada, serba lengkap. Di sana kita dapat memantau seluruh
Dharma Dhatu, termasuk Padma Ksetra (Negeri-negeri Buddha), serta keadaan, tata
hidup makhluk-makhluk yang menghuni di alam masing-masing. Pemandangan setiap
Padma Ksetra yang unik dan super mengagumkan, sungguh tidak dapat dilukiskan
dengan kata dan tulisan bahkan hanya sepersepuluh ribu bagian saja.
Penghuni
di Varga Atas Tengah bila ingin berkunjung ke salah satu Padma Ksetra dari berjuta
miliar banyaknya, yang jaraknya sampai jutaan cahaya tahun, hanya dalam sekejab
mata saja sudah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Memasuki Pagoda Teratai,
kita seolah-olah naik lift dapat naik ke atas dengan sendirinya setingkat demi
setingkat, kita menerobosi setiap lantai kristal tanpa halangan apapun. Terlihat
setiap lantai ada banyak orang sedang rajin menyebut nama Buddha, semuanya laki-laki
berumur sekitar 30 tahun. Para penghuni di setiap tingkat mengenakan seragam
lain daripada yang lain, kami kira-kira menjumpai lebih dari 20 macam warna
seragam yang berbeda-beda. Namun tidak menjumpai seorang perempuan pun. Semua
laki-laki duduk tegak di atas alas teratai memanjatkan doa.
Kuan She Ing Phu Sa berkata,
"Jadwal hidup sehari-hari di sini dibagi 6 waktu, 2 waktu untuk membaca
sutra dan memanjatkan sutra dan mantra, 2 waktu untuk meditasi, 2 waktu lagi
untuk istirahat, saat ini adalah waktu belajar, menjalankan kebaktian."
Kami memasuki satu ruangan
yang berada di salah satu tingkat di pertengahan pagoda Teratai. Terlihat mereka
duduk berjajar terbagi dua kelompok, masing-masing kelompok mengambil tempat
salah satu sisi dari dua sisi ruangan tersebut. Kelompok A dan Kelompok B duduk
berhadapan.
Mereka membaca Sutra diiringi dengan suara genta genderang, ketukan,
dan lain-lain, namun tidak terlihat alat musik sepotongpun. Mereka duduk diatas
alas yang sangat indah sekali, dipimpin oleh seorang Bodhisattva yang duduk
di tengah-tengah mereka. Mereka yang membaca dengan baik, di sekitar bagian
kepalanya memancarkan Candra Prabu (sinar bulan) yang terang benderang, dan
setiap utas sinar menjelama menjadi seorang Buddha, sehingga di sekelilingnya
dikitari bayangan Buddha-Buddha yang tak terhitung banyaknya. Seperti sinar
emas Candra Prabu Sang Buddha Amithaba beterbangan mengitari aula dan pucuk
lancip pagoda, berkicauan, menyanyi mengiringi suara mantra dan doa dengan merdu
dan serasi sekali.
Di aula dan pagoda dihiasi lampu mutiara, lampu kristal beraneka
ragam, dan warna semuanya memancarkan sinar indah yang menyenangkan. Diantaranya
ada sejenis lentera bulat dapat berubah-rubah bentuk dan warnanya. Pendek kata
tak habis-habis diceritakan dan tak ada kata yang cocok untuk melukiskan. Acara
puja bhakti diselenggarakan di sini, karena di sini kita dapat melihat dengan
jelas seluruh alam semesta, baik makhluk-makhluk di tiga alam derita, dunia
fana, dewa-dewi yang riang gembira di alam Dewa, maupun Para Buddha di Buddha
ksetra yang berjuta-juta banyaknya. Pemandangan yang menakjubkan satu demi satu
tampil di depan kita.
Petunjuk dari
Buddha Amitabha

Sesudah melewati 3 Varga
(9 tingkat) Sukhavati Loka, kami menghadap Sang Buddha Amithaba. Saya segera
bernamaskara kepada Sang Amithaba 3 kali, selanjutnya saya mohon petunjuknya
dengan ikhlas.
Beliau bersabda, sekata
demi sekata, dengan seksama dan serius, "Sesungguhnya, sifat ke-Buddhaan
terkandung pada setiap makhluk, tanpa perkecualian baik yang tinggi maupun rendah
derajatnya. Oleh karena Avidya (kegelapan) maka pandangan mereka terbalik, dan
kesadaran tersesat, yang palsu dianggap benar, yang khayal dianggap nyata. Maka
tertaburlah bibit yang buruk, bibit menghasilkan buah, buah mengandung bibit
baru, lahir mati, mati lahir membentuk siklus delusi (samsara) berputar tiada
henti-hentinya. Sedih-pedih, derita dan sengsara menyiksa mereka silih berganti.
Dengan 48 Purva Pranidhana, saya telah berikrar akan menolong mereka di alam
sengsara tanpa terkecuali. Kepada mereka yang betul-betul dapat menunaikan tiga
persyaratan, yaitu: Sin (Sradha/keyakinan), Yuen (Pranidhana/tekad), Sing (Smskara/
jalani). Dengan melatih diri untuk bertindak, mengucap dan berpikir dengan konsekuen
dari saat ke saat, sampai akhir hayat mereka, mereka cukup mengucapkan Sepuluh
Panjatan 'Namo Amithabaya' dengan konsentrasi dan penuh ikhlas, mereka pasti
akan terlahir di Sukhavati Loka."
Saya bernamaskara kepada
Beliau, memohon melanjutkan petunjuk Beliau. Beliau melanjutkan:
"Pertama, anda mempunyai hubungan erat dengan dunia fana, maka anda berkewajiban
menyeberangkan Ayah Bunda, saudara-saudara, famili, dan teman sahabat anda yang
sekarang dan beberapa puluh tumimbal lahir yang lampau. Anda ditugaskan mengajari
mereka tentang 'Dhyana Tanah Suci (Sukhavati Loka)', dan mengajari mereka betul-betul
untuk mentaati sila Vinaya."
"Kedua, anda diharapkan
menjaga kerukunan antar agama, apalagi antar mazhab-mazhab/ sekte-sekte seagama.
Mempererat kerjasama antar agama dan antar sekte. Antar umat berlainan agama
atau sekte jangan saling membenci, merongrong, dan memfitnah, jangan selalu
menganggap dirinya murni, dan orang lain tidak, memandang diri besar, orang
lain kecil, dirinya tinggi orang lain rendah. Jangan suka mengorek-ngorek kesalahan/kelemahan
orang. Hal-hal demikian tidak dibenarkan. Buddha Dharma maha luas tiada batasnya,
mempunyai 84.000 pintu Dharma, dan setiap pintu Dharma mempunyai aspek kebenarannya,
dan aspek positifnya. Mereka yang menekuni dan mentaati ajaran dari salah satu
pintu dharma pasti akan membimbing dari arah yang sesat ke arah yang benar/tepat,
yang negatif dapat dirubah menjadi positif, Sang Mara jika sudah sadar akan
menjadi Buddha.
Yang cita-citanya kecil/kerdil dapat berubah menjadi cita-cita
agung luhur. Antar agama atau sekte harus saling bertoleransi, saling membantu,
saling mencintai, meluruskan apa yang bengkok, menegakkan apa yang miring, pada
hakekatnya, hal tersebut adalah misi luhur dari umat Buddha dan kebijaksanaan
umat Buddha."
Setelah berhenti sejenak
Beliau bersabda lagi, "Baiklah, sekarang anda boleh pulang."
Berulang-ulang saya bernamaskara kepada Amitabha Buddha menyampaikan rasa terima
kasihku sedalam-dalamnya.
Sepanjang perjalanan pulang,
dua kuntum bunga teratai di atas kedua kakiku membawa saya terbang dengan cepat,
sebentar saja 'Pintu alam dewa selatan' telah kutinggalkan, dan tiba di Istana
Arahat Langit Tengah. Saya berhenti memanjatkan mantra, dan dengan sekejab teratai
di bawah kaki lenyap. Seorang bocah menyuguhi kami secangkir air putih, saya
segera habiskan air tersebut. Lalu seorang biarawan menunjukkan kepada saya
sebuah kamar agar saya istirahat, entah mulai kapan saya tertidur pulas.
Kembali ke dunia
fana, di gua maitreya gunung 9 dewa
Saat saya terbangun semua
pagoda, kuil, teras, istana, para suci, para Bodhisattva, dan Buddha, semuanya
hilang tanpa bekas. Menurut ingatanku perjalananku pergi dan kembali dari Sukhavati
Loka hanya sekitar 20 jam. Pemandangan dan peristiwa yang memukau masih seperti
baru dan sangat jelas di depan mata. Saat ini bukanlah saya di dalam istana
megah yang memancarkan sinar emas, melainkan saya di kelilingi gelap gulita.
Walaupun saya telah mengangkat tanganku di depan mata, saya tidak dapat melihat
lima jariku. Saya merasa duduk sendirian di sebuah batu. Tak lama kemudian fajar
menyingsing. Sinar surya menembus awan di tepi langit, keadaan badan saya telah
pulih seperti sedia kala.
Saya bernamaskara selama
dua hari dua malam, berteriak, melompat-lompat, menangis, namun tanpa sedikitpun
jawaban dari luar.
Selangkah demi selangkah
saya turun dari gunung, kira-kira telah berjalan 10 kilometer, sampai pada jalan
Je Sue (air Merah), terlihat banyak pejalan kaki lalu lalang. Saya bertanya
kepada salah seorang yang lewat, dan terperanjat oleh jawabannya. "Hari
ini tanggal 8 Mei 1973." Dihitung mulai tahun 1967, saya meninggalkan dunia
fana sampai dengan pulang kembali ditempuh lebih dari 6 tahun 5 bulan lamanya.
Mereka yang insaf akan kebenaran
adalah Bodhisattva.
Mereka yang sesat di keduniawian adalah manusia biasa,
Yang beruntung mendengar Ajaran Kebenaran Sang Buddha,
Bertalian erat dengan sebab masa-masa yang lampau.
Hanya yang berjodoh dengan Sang Buddha dapat diseberangkan.
Mewariskan cita-cita
luhur Master Si Yin yang karuna,
Kami berikrar menyebarkan Buddha Dharma
Ke setiap pelosok di Dunia Saha.
Kami bertekad menyeberangkan mereka yang membutuhkan bantuan
Dari alam sengsara ke pantai bahagia
Semoga semua jasa pahala kami,
Dilimpahkan kepada setiap makhluk yang menderita,
Agar mereka bersama-sama kami,
Semuanya mencapai ke-Buddha-an.